Kelurahan Dinoyo menjadi sentra perajin keramik di Kota Malang. Produk keramik Dinoyo sudah menembus pasar ekspor. Keren lho!
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Keramik Dinoyo, Samsul Arifin mengatakan, secara produksi, pembuatan keramik Dinoyo mengalami pergeseran dari cara tradisional menjadi modern.
Jika sebelumnya, pembakaran gerabah menggunakan bahan bakar ranting kayu dan jerami ,sampai membuat tungku dengan bahan bakar minyak tanah dan solar, tapi saat ini semua beralih ke tungku mesin dengan bahan bakar gas elpiji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara umum, tambah Samsul, sebenarnya masih tradisional atau secara dekoratif masih dilakukan secara manual. Karena orientasi pengrajin ini lebih ke hancdycraf atau handmade.
Tapi dalam proses produksi mengalami perkembangan diantaranya kalau gerabah dulu bahan bakarnya dari ranting-ranting kayu, dari jerami. Dia mengaku peralihan tradisional ke modern hanya pada perbedaan cara pembakaran.
"Karena waktu itu lahan cukup luas dan bahan tersedia. Kemudian dalam perkembangannya pernah mengembangkan tungku bakar menggunakan bahan bakar minyak tanah, solar. Waktu itu juga cukup tepat karena minyak tanah waktu itu murah, kemudian dibutuhkan suhu bakar yang tinggi karena minyak tanah sebagai bahan bakar karena punya kalori untuk suhu bakar tinggi," ujar Samsul kepada detikJatim, Selasa (5/9/2023).
Di era sekarang karena minyak tanah terbatas dan harganya mahal dan akhirnya menggunakan tungku dari besi dengan bahan bakar gas elpiji. "Bahan bakar elpiji cukup efektif sekarang, karena tersedia, kemudian tidak polusi dan hasilnya cukup bagus," ucap Samsul.
Samsul menjamin, secara produksi, tidak ada perbedaan kualitas hasil produk keramik yang dibuat atau dibakar secara tradisional maupun modern. Karena secara bahan dan suhu panasnya sama, tidak ada perbedaan sama sekali.
"Sebenarnya sama saja karena itu kan hanya, kita produksi keramik porselain ini komposisinya harus bahan ini, kemudian dibakar dengan suhu sekian, tetapi peralatan yang digunakan berkembang, tetapi prinsipnya kan tetap," ujarnya.
Sedangkan secara pasar, produksi keramik Dinoyo masih banyak peminatnya. Dia mengatakan sampai saat ini, peminat pasar keramik Dinoyo ada tiga kelompok, yakni kelompok pemesan, kelompok pengecer atau pedagang, dan kelompok wisatawan yang membeli langsung saat berkunjung ke Kampung Wisata Keramik Dinoyo.
"Kalau pasar kebanyakan konsumen keramik ini kalau boleh saya katakan ada tiga kelompok. Yang pertama pemesan, dia pesan dipakai sendiri untuk souvernir. Kemudian ada pengecer, pengecer ini pedagang, nah itu cukup besar, karena dia ambil jumlah banyak jual lagi di beberapa daerah. Yang ketiga pembeli langsung atau wisatawan yang jalan - jalan," beber Samsul.
Samsul menambahkan dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Kampung Wisata Keramik Dinoyo, dan tertarik setelah melihat proses pembuatan keramik yang dilakukan pengrajin secara manual, pengrajin pun sepakat sentra keramik Dinoyo ini dijadikan kampung wisata destinasi kunjungan edukasi keramik.
"Dulu di awal-awal itu memang banyak orientasinya itu ke produksi. Saya membuat keramik nanti pasarnya ada yang mengambil sendiri, sehingga kosentrasi di produksi, tapi dalam perkembangan sekarang,ternyata orang membuat keramik itu mempunyai daya tarik wisata," katanya.
Sementara itu, salah seorang penjual keramik Subur Laminah mengatakan penjualan keramik sampai saat ini tidak ada kendala. Bahkan, kunjungan wisatawan yang datang ke sentra keramik Dinoyo pun masih banyak yang datang.
Bahkan, dari hasil jualannya setiap hari dia masih mendapatkan omzet Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per hari. Namun, pada saat liburan omzet yang dia dapat mencapai Rp 10 juta sampai Rp 15 juta per hari.
"Alhamdulillah lancar-lancar saja. Hari biasa omzetnya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Kalau liburan bisa Rp 10 juta sampai Rp 15 juta," katanya.
(mua/fat)