Skema pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite tengah digodok pemerintah. Tujuannya untuk menekan tingginya subsidi BBM. Pengamat mengingatkan sejumlah risiko yang akan muncul dan mempertanyakan pola pengawasan kebijakan tersebut.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kebijakan itu akan memunculkan masalah. Salah satunya pengaruh pada daya beli konsumen.
"Kebijakan pembatasan BBM akan memukul daya beli konsumen, khususnya pengguna roda empat pribadi, yang selama ini menggunakan BBM Pertalite," katanya, dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menerangkan jika pengguna Pertalite harus bermigrasi ke Pertamax berarti kenaikan harga yang harus dihadapi konsumen pertalite mencapai Rp 5.500 per liter. Itu jauh lebih tinggi dari kenaikan harga Pertamax sebelumnya.
Sebelumnya konsumen yang sudah biasa menggunakan Pertamax harus merogoh kocek lebih dalam karena adanya kenaikan harga dari Rp 9.000/liter menjadi Rp 12.500/liter (naik Rp 3.000/liter).
Selain itu, menurut Tulus, kebijakan itu juga akan menimbulkan kerancuan pada tataran operasional karena ada satu barang yang sama kualitasnya tetapi harganya berbeda-beda.
"Sudah pasti nantinya akan menimbulkan berbagai anomali, distorsi bahkan moral hazard," tegas Tulus.
Menurutnya, secara politis kebijakan ini akan membuat masyarakat menganggapnya ambigu. Sebab, pemerintah juga enggan memakai terminologi kenaikan harga tetapi praktiknya terjadi kenaikan harga di lapangan. Bahkan harganya jauh lebih tinggi.
Sementara masyarakat yang benar-benar miskin, berdasarkan data Kementerian Sosial, tidak bisa menikmati subsidi BBM karena tidak mempunyai kendaraan bermotor pribadi.
"Secara teknis, kebijakan ini jika diterapkan sangat menyulitkan dalam pengawasan dan menyulitkan petugas SPBU. Bahkan bisa menimbulkan chaos pelayanan di SPBU. Apalagi SPBU di kota-kota besar atau di jalan utama, seperti jalan nasional, bahkan jalan provinsi. Di seluruh dunia harga BBM adalah tunggal, tidak ada dual price, apalagi triple price. Jika ini diterapkan pasti buntutnya runyam!" Papar dia.
Karena itu ia menyarankan pemerintah tidak membuat kebijakan berpotensi masalah baru. Bila pun pemerintah ingin mensubsidi BBM seharusnya menerapkan subsidi tertutup yang diberikan kepada orang bersangkutan, bukan pada barang.
Ia menjelaskan subsidi pada barang terbukti banyak penyimpangan dan tidak tepat sasaran. Selain itu data subsidi Kementerian Sosial juga perlu diperbarui agar lebih adil dan komprehensif.
"Terakhir, jika harga minyak mentah dunia terus melambung, maka Pemerintah seharusnya berani mengambil kebijakan yang terukur dan rasional, yakni melakukan review terhadap harga BBM Pertalite," ujarnya.
Simak Video "Pertamina Sukses Laksanakan Satgas Ramadan dan Idulfitri 2025"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/sun)