Masyarakat awam melihat kenaikan harga telur menguntungkan peternak. Sebaliknya, paguyuban peternak ayam petelur di Blitar menilai kenaikan harga itu politis. Apa maksudnya?
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio mengaku telah menyiapkan mental untuk menerima kejutan-kejutan dari perusahaan peternakan terintegrasi (integrator).
Sebab, di saat harga telur melonjak seperti yang terjadi sekarang, hal yang sama juga terjadi pada daging ayam broiler. Harga ayam broiler pun meningkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya menilai ini harga politis ya, sepertinya ini modus para pabrikan akan menaikkan harga pakan," jawab Alvino dihubungi detikJatim, Sabtu (4/6/2022).
Alvino mendasarkan pendapatnya dari sejumlah fakta terkait kebijakan pemusnahan telur tetas infertil atau yang familier dengan Cutting Hatched Egg (HE).
Ia menjelaskan kebijakan pemusnahan telur tetas infertil atau HE itu adalah salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga unggas di pasaran.
Terbitnya kebijakan itu, kata dia, didasarkan pada data harga Live Bird (LB) atau daging ayam broiler di Pulau Jawa sejak Januari 2021 yang terus mengalami kontraksi (turun).
Dari harga Rp 19.500/kg sampai menyentuh harga Rp 17.500/kg. Sedangkan harga telur mencapai titik terendah di tingkat peternak di kisaran harga Rp 13.500/kg-14.000/kg.
Melihat kondisi demikian, Kementan mengambil kebijakan dengan surat nomor 08068/PK.230/F/03/2021 tanggal 8 Maret 2021 perihal Pengaturan dan Pengendalian Produksi DOC Final Stock ayam ras pedaging untuk melakukan Cutting HE.
Alvino menjelaskan kebijakan itu diambil supaya harga LB atau daging ayam broiler di Pulau Jawa tidak semakin turun.
"Nah ini sejak April 2022 tidak ada cutting HE tapi kenapa harga daging broiler terus bagus, harga telur makin tinggi? Kenapa harga DOC terus naik? Padahal, kemarin pas ada cutting harga DOC broiler hanya Rp 1.500. Sejak sepekan lalu naik jadi Rp 3.500 kemudian naik lagi jadi Rp 5000. Sedangkan harga DOC layer di atas Rp 10.000. Ada apa ini, makanya saya bilang ini harga politis," ujarnya.
Alvino mengatakan, kondisi harga telur saat ini memang menguntungkan peternak ayam petelur. Namun jika diakumulasi dengan kerugian dua tahun lalu sebenarnya peternak masih rugi.
Meski demikian kenaikan harga telur saat ini dia akui bisa menutup kerugian dua tahun kemarin.
"Tapi kan faktanya, teman-teman peternak rakyat sudah banyak yang gulung tikar. Posisi mereka tergeser oleh pabrikan besar. Mereka selalu beli pakan jadi. Nah yang diuntungkan, ya, tetap perusahaan pakan," ujarnya.
Alvino menyoroti, beragam kebijakan pemerintah selama ini sebatas retorika. Hanya kebijakan populis namun tidak ada aksi nyata yang berpihak kepada peternak rakyat.
Menurut Alvino, seharusnya pemerintah turun tangan menata dan mengelola bisnis perunggasan ini tanpa menyisihkan peternakan rakyat.
"Saya juga banyak berpikir begini. Ngapain coba, anggota dewan kita pada studi banding ke luar negeri soal ayam? Apa yang mereka bawa untuk perbaikan pengelolaan ayam di negerinya ini?" Katanya.
"Yang paling simpel saja, pemerintah bilang harga jagung sebagai bahan pakan pokok di bawah Rp 4.500/kg. Tapi nyatanya enggak bisa. Alasan biaya pengiriman lah, tidak ada kapal yang mengangkut ke Jawa lah. Tetap enggak ada solusi," pungkasnya.
(dpe/iwd)