Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal bagi Muslim

Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal bagi Muslim

Muhammad Faishal Haq - detikJatim
Rabu, 24 Des 2025 01:00 WIB
Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal bagi Muslim
ILUSTRASI PERAYAAN NATAL. Foto: Shutterstock
Surabaya -

Di setiap penghujung tahun, diskursus mengenai hukum mengucapkan selamat hari Natal selalu hadir di tengah masyarakat muslim. Perbedaan pandangan ini bukanlah tanda perpecahan, melainkan bukti kekayaan khazanah keilmuan Islam (fiqh) dalam merespons realitas sosial.

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama mengenai hal ini umumnya terbagi menjadi dua kutub utama, mereka yang melarang atas dasar kehati-hatian akidah, dan mereka yang membolehkan atas dasar etika sosial (muamalah).

Pandangan yang Melarang

Pandangan yang melarang atau mengharamkan ini menekankan aspek purifikasi akidah. Salah satu tokoh utama yang mewakili pandangan ini adalah Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari jurnal berjudul "Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Yusuf Al-Qaradhawi dan Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin" yang ditulis Agus Arif Sulaeman, menurut Syaikh Utsaimin, mengucapkan "selamat merayakan hari ini (Natal) atau hari yang diberkahi bagimu", dan sebagainya kepada umat Nasrani haram. Sebab, perbuatan tersebut mengandung unsur pengakuan (iqrar) dan kerelaan (ridha) terhadap simbol-simbol agama mereka.

Ia menegaskan meskipun seorang muslim tidak bermaksud mengakui kebenaran agama tersebut di dalam hatinya, tindakan pengucapan itu sendiri dianggap sebagai bentuk persetujuan lahiriah yang dibenci Allah.

ADVERTISEMENT

Hal ini juga didasarkan pada dalil Al-Qur'an Surah Az-Zumar ayat 7 yang menyatakan bahwa Allah tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Artinya: Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur Dia meridai kesyukuranmu itu. (Q.S. Az-Zumar 39:7)

Melakukan tindakan yang berkaitan dengan perayaan agama lain, termasuk memberi ucapan, dianggap menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir yang dilarang keras Nabi Muhammad SAW. Hal ini didasari sabda Nabi SAW:

"Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka," (HR Abu Daud, Ahmad)

Syaikh Utsaimin menggunakan metode Sadd Adz-Dzari'ah (menutup jalan menuju keburukan) untuk mencegah umat Islam tergelincir pada pengakuan teologis yang salah.

Pandangan yang Membolehkan (Mubah/Boleh)

Pandangan yang membolehkan atau mubah ini melihat ucapan selamat Natal sebagai bagian dari muamalah (hubungan sosial) dan birr (kebaikan), selama tidak menyentuh ranah ritual peribadatan.

Pandangan ini diwakili ulama kontemporer Yusuf Al-Qaradhawi dan didukung beberapa kajian akademis di Indonesia. Yusuf Al-Qaradhawi berdalil dengan Surah Al-Mumtahanah ayat 8, Allah SWT berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim. (QS Al-Mumtahanah 60:8-9)

Ayat tersebut menegaskan Allah tidak melarang umat Islam berbuat baik dan berlaku adil kepada non-muslim yang tidak memerangi Islam. Yusuf Al-Qaradhawi menambahkan, ucapan selamat harus dianggap sebagai bentuk tata krama (tahni'ah) sosial biasa yang tidak mengandung pengakuan kebenaran teologis agama lain.

Al-Qaradhawi menekankan dalam hadis yang diriwayatkan dari Asma Binti Abu Bakar, yang berbunyi:

"Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku dan ia masih dalam keadaan musyrik, tapi ia pun mencintaiku (sering menghubungi dan memberi hadiah). Apakah aku harus berhubungan (bergaul) dengannya?" Rasulullah SAW bersabda, "Pergaulilah ibumu (meskipun ketika itu ibumu masih musyrik)."

Hadis tersebut menjelaskan bahwa tidak ada larangan menerima hadiah dari non-muslim dan bersikap santun kepada mereka. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan keramahan.

Senada dengan pandangan ini, Saiful Aziz Al-Bantany dalam tulisannya di laman resmi DPPAI Universitas Islam Indonesia, menjelaskan bahwa mengucapkan selamat Natal termasuk dalam kategori perbuatan baik (birr) kepada non-muslim yang diperbolehkan.

Merujuk pada teladan Rasulullah dalam menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, seperti dalam hadis yang diriwayatkan Abu Anas bin Malik Ra., Rasulullah SAW bersabda:

"Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: 'Masuk Islam-lah!' Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,'Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). 'Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.'" (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657)

Sikap Majelis Ulama Indonesia

Dilansir dari laman resmi MUI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah sejak lama mengeluarkan fatwa tentang hukum Perayaan Natal Bersama yang ditetapkan di Jakarta, 7 Maret 1981.

Dalam Fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa mengikuti ritual Natal bagi umat Islam hukumnya haram. Hal tersebut bertujuan semata-mata agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT untuk ikut serta ritual peribadatan agama lain.

Setidaknya ada enam alasan yang berlandaskan Al-Qur'an yang menjadi pijakan Fatwa tersebut, di antaranya sebagai berikut.

  • Umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat-umat agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan: QS Al-Hujurat [49]: 13, QS Luqman [31]: 15, dan QS Muntahanah [60]: 8.
  • Umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agama-nya dengan aqidah dan peribadatan agama lain, berdasarkan: QS Al-Kafirun [109]: 1-6 dan QS Al-Baqarah [2]: 42.
  • Umat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al-Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan: QS Maryam [19]: 30-32, QS Al-Maidah [5]: 75, dan QS Al-Baqarah [2]: 285.
  • Siapa yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa al-Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan: QS Al-Maidah [5]: 72-73 dan QS At-Taubah [9]: 30.
  • Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab "tidak". Hal itu berdasarkan: QS Al-Maidah [5]: 116-118.
  • Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan: QS Al-Ikhlas [112]: 1-4.

Umat Islam dianjurkan untuk menyikapi perbedaan ini dengan dewasa, dengan tidak saling menghujat, dan tetap mengedepankan akhlak mulia dalam berinteraksi dengan sesama anak bangsa.

Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(hil/irb)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads