Langkahnya masih mantap menyeberangi batu balas di tengah rel kereta api di Jalan Dupak Magersari, Surabaya. Di kepalanya tersunggi kotak kayu berisi sejumlah satai lengkap dengan pemanggangnya. Asap masih mengepul dari pemanggang yang terlihat sudah menghitam itu.
Perempuan itu Yummiyeh, pedagang satai keliling yang menjajakan dagangannya di sekitar Dupak Magersari. Setiap hari dia berangkat sejak pagi ditemani suaminya yang selalu berjalan di belakannya sembari memanggul sejumlah perlengkapan dagangan lainnya.
Di usia yang hampir mencapai 70 tahun, mereka masih mau menempuh perjalanan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki untuk menjajakan sate khas Madura. Setiap hari mereka berharap mampu menjual beberapa porsi satai, yang setiap 10 tusuk satainya mereka tawarkan dengan harga Rp 12.000.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Daripada nggak makan. Dulu enak di pasar turi, sekarang sudah sepuh semua, harus jalan kaki sampe ke mana-mana," tutur Yummiyeh sambil tertawa getir.
Peristiwa kebakaran Pasar Turi Surabaya pada 2007 menyisakan luka mendalam bagi warga yang pernah berdagang di sana, termasuk Yummiyeh. Tapi Yummiyeh tidak pernah berlarut pada kesedihan. Karena selain harus menghidupi suaminya yang sudah mulai pikun dan pendengarannya berkurang, dia juga harus membantu 17 cucunya.
"Bapak nggak bisa dengar, dengar ya dikit-dikit. Ini pakai alat bantu palsu soalnya yang asli mahal, nggak bisa operasi juga," kata Yummiyeh.
Di saat seperti itulah, Yummiyeh seolah-olah memperlihatkan bentuk kesetiaan dan rasa sayang seorang istri kepada suaminya. Itu terbukti dari apa yang dia simpan di dalam tasnya lalu dia keluarkan ketika detikJatim menanyakan nama dan asal mereka. Itu adalah fotokopi KTP miliknya dan suaminya.
Yummiyeh dan suaminya, pasutri pedagang satai keliling di Dupak Magersari Surabaya. (Foto: Jihan Navira/detikJatim) |
Kita sering mendengar laporan kehilangan di Radio Suara Surabaya. Yummiyeh adalah salah satu yang khawatir suaminya tiba-tiba tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Karena itulah dia selalu membekali suaminya itu fotokopi KTP sehingga orang yang menemukannya bisa mengantarnya pulang atau membantunya menunjukkan jalan.
"Sempat suami saya itu harus potong rambut di tempat yang jauh, karena di sini mahal. Saya bawakan KTP ini biar kalau gimana-gimana, orang bisa tahu dan bisa ditemu," kata Yummiyeh.
Sembari menyiapkan satai pesanan pembeli, Yummiyeh menceritakan bahwa sudah lama dia dan suaminya menyunggi sate berjalan kaki. Sebelum menemaninya setiap hari, sebenarnya suaminya punya pekerjaan tetap.
Baca juga: Fakta Menarik Seputar Hari Ibu di Indonesia |
Dengan nada mengomel dan sedikit mengumpat, Yummiyeh menyesalkan kenapa sang suami memutuskan untuk berhenti bekerja di kantoran seperti itu. Tapi bagaimana pun juga apa yang dia sampaikan jauh dari kesan penyesalan, ungkapan itu justru menjadi bentuk kasih sayang yang mendalam.
"Saking nggak dilanjutin sama Bapak, dulu kerja kantoran. Tau gitu kan kita ngga kerja kayak gini sekarang," kata Yummiyeh. "Nasib. Udah nasib," lanjut Yummiyeh sambil tertawa.
Yummiyeh dan suaminya, pasutri pedagang satai keliling di Dupak Magersari Surabaya. (Foto: Jihan Navira/detikJatim) |
Perempuan itu juga mengungkapkan bahwa selain suami yang bersandar kepada dirinya, Yummiyeh saat ini juga menjadi sandaran bagi sebagian dari 8 anaknya dan membantu 17 cucu serta cicitnya.
"Sekarang cucu saya punya anak 5, buyut lah saya sekarang," ujarnya sembari menjelaskan bahwa 3 dari 8 anaknya sudah meninggal dan meninggalkan cucu yang yatim piatu. "Bantu yang nggak ada bapaknya itu. Kasihan saya, Ibunya ngga punya apa-apa."
Yummiyeh, menjadi salah satu bukti cinta kasih dan perjuangan seorang Ibu. Perjuangannya tak berhenti meski dunia tak sepenuhnya berpihak kepada dirinya. Selagi masih mampu Yummiyeh melakukan yang dia mampu untuk suami, anak, dan cucunya.
(ihc/dpe)













































