Setir bus berwarna hitam itu digenggam mantap oleh Eka Hardiyanti Suteja. Perempuan 35 tahun asal Sukodono itu terlihat fokus menyusuri rute Suroboyo Bus. Sesekali dia sapa penumpang yang naik dari pintu depan sebagai area khusus perempuan.
Di balik seragam sopir dan bus besar yang dia kemudikan tersimpan cerita panjang tentang keberanian, keibuan, dan pilihan hidup. Eka mengaku sopir bus bukan cita-citanya. Keputusan itu lahir dari keadaan yang memaksanya beradaptasi.
Awal Karier Menjadi Sopir
Pandemi COVID-19 pada 2020 membuat lapangan pekerjaan semakin sempit. Di tengah situasi yang sulit itu lah, Suroboyo Bus membuka lowongan khusus bagi pengemudi perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya nggak ada keinginan buat nyupir. Cuma kepepet saja waktu itu, Pandemi, cari kerja susah," tutur Eka kepada detikJatim, Kamis (18/12/2025) mengenang awal perjalanannya.
Sebelum bergabung dengan Suroboyo Bus, Eka sempat bekerja sebagai pengemudi taksi Blue Bird selama sekitar 1,5 tahun. Dunia jalanan bukan hal yang asing baginya meski mengemudikan bus berukuran besar sempat membuatnya ragu.
"Bus ini kan besar ya, saya belum pernah pegang kendaraan sebesar ini. Tapi saya dibilangi, kalau dasarnya sudah bisa nyetir, coba saja. Sama kok, bedanya di haluan. Dari situ saya yakinkan diri," katanya.
Seiring waktu berjalan keraguan itu perlahan berubah menjadi kepercayaan diri. Eka mengaku lingkungan kerja di Suroboyo Bus terasa lebih manusiawi dibandingkan pekerjaannya terdahulu.
"Di sini kerjanya nggak terlalu ngoyo (memaksa) kayak waktu di taksi. Ada waktu istirahat hampir setengah jam. Kalau capek ya istirahat, kalau di rumah masih capek, kerjanya bisa dilanjut besok," ujarnya.
Bagi Eka, kenyamanan kerja juga datang dari suasana sosial. Ia mengaku tak pernah mengalami perlakuan buruk selama menjadi sopir Suroboyo Bus.
"Teman-temannya enak, penumpangnya juga ramah. Apalagi area depan khusus perempuan, jadi menurut saya lebih aman kalau driver-nya perempuan," katanya.
Ibu yang Kerap Berada di Jalan Raya
Namun, pilihan profesi ini tidak selalu luput dari pertanyaan orang. Eka kerap ditanya tentang alasan menjadi sopir. Bahkan tidak sedikit disinggung soal keberadaan suami. Ia memilih tidak larut dalam komentar itu.
"Saya yang menjalani, saya yang ngelakuin. Selama halal, dapat rezeki, ya sudah. Fokus saya ke anak," ucapnya tegas.
Sejak anaknya masih berusia 7 bulan, Eka sudah terbiasa bekerja di jalan. Ia bahkan sempat menitipkan anaknya di tempat penitipan anak saat masih menjadi sopir taksi. Perlahan, sang anak pun memahami profesi ibunya.
"Mungkin dia sudah paham dari kecil. Ibunya kok tiap hari nyetir. Dulu sering saya ajak naik taksi, sekarang kalau naik bus juga pernah saya taruh di depan," ceritanya sambil tersenyum.
Bagi Eka, bekerja bukan sekadar soal mencari nafkah, tetapi juga upaya memastikan anaknya tumbuh dengan baik meski tanpa kehadiran orang tua yang utuh.
"Kita sebagai ibu ya gimana caranya mengupayakan. Patokannya itu anak. Selama ada anak, saya masih baik-baik saja," katanya.
Saat merasa lelah atau ragu, Eka kerap menengok kembali perjalanan hidupnya lima tahun ke belakang. Ia menyadari bahwa dirinya mampu melewati berbagai rintangan sendirian.
"Intinya selama ini kamu bisa kok menghadapi diri sendiri. Apapun masalahnya, selama ada anak, saya masih kuat," ujarnya.
Pesan untuk para Ibu
Eka pun menyampaikan pesan bagi perempuan lain di luar sana. Menurutnya, tidak ada lagi batasan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan.
"Saya yakin semua perempuan mampu. Asal ada niat dan kemauan. Sekarang sudah nggak ada perbedaan," ucapnya.
Menutup ceritanya, Eka menyampaikan pesan haru untuk anaknya, Shaki.
"Shaki, mungkin saya bukan ibu yang sempurna. Tapi saya akan tetap berusaha menjadi ibu yang bisa hadir untuknya," katanya lirih.
Di momen Hari Ibu, Eka juga menitipkan salam untuk para perempuan tangguh lainnya.
"Selamat Hari Ibu untuk mama-mama hebat di luar sana," pungkasnya.
(hil/dpe)











































