Program Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR) dinilai memiliki peran strategis dalam memperkuat keterlibatan ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Kehadiran ayah di sekolah, khususnya saat pengambilan rapor, tidak sekadar bersifat administratif, melainkan membawa dampak psikologis yang signifikan bagi anak.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Atika Dian Ariana, M.Sc., M.Psi., menyebut GEMAR sebagai inisiatif yang menjanjikan untuk mengubah pola pengasuhan yang selama ini cenderung bertumpu pada peran ibu.
"GEMAR ini saya rasa merupakan inisiatif yang menjanjikan, ketika hal ini menjadi komitmen bersama. Dalam artian, ayah yang diminta untuk mengambil rapor, itu kan pada awalnya mungkin saja akan merasa dipaksa untuk hadir. Tapi karena mengubah sesuatu agar menjadi kebiasaan, itu perlu sebuah pola ya, sebuah pola dan pembiasaan, pengkondisian atau conditioning," ujar Atika kepada detikJatim, Kamis (18/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, selama ini masih terdapat konstruksi budaya yang menempatkan urusan domestik dan pengasuhan sebagai wilayah ibu. Kondisi tersebut membuat sebagian ayah merasa canggung atau tidak memiliki ruang untuk terlibat aktif dalam pendidikan anak. Melalui GEMAR, negara hadir membuka peluang dan legitimasi bagi ayah untuk terlibat langsung.
Atika menjelaskan, momen pengambilan rapor memiliki makna emosional yang kuat bagi anak. Kehadiran ayah di sekolah memberikan pesan bahwa anak dihargai, diperhatikan, dan dianggap penting dalam keluarga.
"Mengambil rapor itu kan buat anak bukan hanya momen mendapatkan nilai ya, bahkan mungkin beberapa anak karena di rumah tidak juga dituntut gitu ya, angka berupa nilai itu hanya berupa ya, angka-angka saja gitu, tidak bermakna lebih begitu. Tapi momen ketika orang tuanya mau meluangkan waktu untuk hadir ke sekolah, itu membuat anak merasa dihargai loh. Dia merasa ada kedekatan, dipercaya oleh ayah, penting untuk ayah, sehingga dia jadi yakin, oh saya sepenting ini, saya menjadi anak yang sangat disayangi oleh orang tua saya," jelas Atika.
Ia menambahkan, anak yang merasa dicintai dan didukung cenderung memiliki ketahanan psikologis yang lebih baik. Sebaliknya, minimnya keterlibatan ayah dalam pendidikan berpotensi menimbulkan berbagai risiko, mulai dari kesulitan regulasi emosi hingga kecemasan dan perasaan tidak layak mendapatkan perhatian.
"Risiko yang muncul bila keterlibatan ayah masih minim, tentu saja pemaknaan anak akan dirinya sendiri. Hal itu pasti akan berdampak ya. Sekolah itu bisa jadi bermakna besar untuk anak bukan hanya karena di situ tempat mereka belajar, tapi mereka juga bertemu teman, mereka belajar untuk punya peran yang lebih," kata Atika.
Terkait implementasi GEMAR, Atika menilai masih terdapat sejumlah tantangan. Salah satunya adalah dukungan dari lingkungan kerja ayah. Menurutnya, keberhasilan program ini juga bergantung pada sejauh mana perusahaan atau instansi memberi ruang bagi ayah untuk terlibat.
"Masalah penerimaan dari lingkungan yang lebih besar tidak bisa kita pungkiri kita berada di lingkungan yang kolektivis, jadi seringkali keputusan itu bukan diambil oleh pihak utama tetapi juga oleh lingkungan. Kadang-kadang bisa jadi keluarga besar yang malah ikut berkomentar ngapain ayah harus ikut kan cukup dengan ibu," ujar Atika.
Agar GEMAR tidak berhenti sebagai program seremonial, Atika menekankan pentingnya sinergi antara ayah, ibu, sekolah, dan pemerintah. Pemerintah berperan sebagai penyedia kebijakan, sekolah sebagai fasilitator, dan orang tua sebagai pelaku utama dalam pengasuhan.
"Memang bagaimanapun sinergi dari tiga pihak minimal itu ya, pemerintah itu kan saya rasa menyediakan wadahnya. Tapi bahwa ada orang tua, ada pihak sekolah, dalam hal ini bukan hanya manajemen, tapi juga guru dan siswanya sendiri itu harus ada dan berkelanjutan supaya pendidikan itu bukan hanya sekedar institusi formal yang memberikan materi dan sudah begitu," ungkapnya.
Sebagai penutup, Atika mengajak para ayah untuk memaknai keterlibatan dalam GEMAR sebagai langkah awal, bukan tujuan akhir. Kehadiran ayah perlu dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sederhana namun konsisten.
"Dari hal-hal yang paling sederhana yang paling tidak canggung untuk dilakukan. Bertahap, misalnya sampai mengucapkan ayah sayang kamu, itu kan tidak semua keluarga terbiasa. Pun kalau tidak cukup nyaman melakukan itu, Saya pikir bahasa cinta bisa disampaikan dalam berbagai macam versi ya, yang penting terus konsisten," pungkasnya.
(auh/hil)











































