Pondok Pesantren (Ponpes) Sidogiri yang berlokasi di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, merupakan salah satu institusi pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Indonesia. Berdiri sejak tahun 1745, pesantren ini telah melahirkan ribuan ulama, pendidik, dan tokoh penting dalam perjalanan sejarah Islam Nusantara.
Sidogiri bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga simbol konsistensi pendidikan tradisional yang tetap relevan hingga hari ini. Dengan usia yang telah melintasi tiga abad, banyak yang mempertanyakan rahasia ketahanan dan perkembangan Sidogiri. Jawabannya terletak pada perpaduan kuat antara tradisi, kepemimpinan, inovasi, dan nilai spiritual yang terus dijaga lintas generasi.
Sejarah Pesantren Sidogiri
Mengutip laman resmi mahadalysidogiri.ac.id, sejarah Pondok Pesantren Sidogiri bermula pada abad ke-18. Cikal bakalnya didirikan oleh seorang ulama berdarah bangsawan, Sayyid Sulaiman dari Cirebon, Jawa Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia memiliki garis keturunan Rasulullah melalui marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman, berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman, sementara ibunya, Syarifah Khodijah, merupakan cucu Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh penting penyebaran Islam di Jawa.
Foto lama Pondok Pesantren Sidogiri Foto: sidogiri.net (dok. situs Pondok Pesantren Sidogiri) |
Sayyid Sulaiman dikenal sebagai sosok alim yang berpengaruh. Setelah melakukan perjalanan dakwah, ia memutuskan membuka wilayah alas Sidogiri, saat itu masih berupa hutan belantara.
Proses membuka hutan berlangsung selama 40 hari, dibantu santri sekaligus menantunya, Kiai Aminullah dari Bawean. Di tempat itulah sebuah langgar sederhana didirikan dan menjadi pondasi awal lahirnya Pondok Pesantren Sidogiri.
Lokasi ini dipercaya sebagai salah satu tempat singgah Sunan Giri ketika berdakwah, sehingga Sidogiri memiliki keterikatan historis dengan jejak Walisongo. Meski terdapat catatan yang menyebutkan tahun berdiri adalah 1718, Sidogiri secara resmi memperingati hari lahirnya pada 1745, tahun yang kini diakui secara institusional sebagai awal perjalanan pesantren.
Seiring berkembangnya waktu, Sidogiri menarik lebih banyak santri dari berbagai penjuru Jawa Timur bahkan luar pulau. Kepengasuhan pesantren diteruskan oleh para keturunan Sayyid Sulaiman, mulai dari KH Aminullah, Kiai Mahalli, Kiai Abu Dzarrin, hingga KH Noerhasan. Pada masa KH Noerhasan inilah mulai dirintis pengajian kitab-kitab besar, seperti Ihya' Ulumuddin dan Shahih Bukhari, yang memperkuat karakter pesantren sebagai pusat kajian keilmuan klasik.
Pondok Pesantren (Ponpes) Sidogiri. Foto: Istimewa (dok. situs Pondok Pesantren Sidogiri) |
Tonggak bersejarah berikutnya terjadi pada masa kepemimpinan KH. Abd. Djalil pada tahun 1938. Di masa tersebut didirikan Madrasah Miftahul Ulum (MMU), yang menandai penerapan dua sistem pendidikan sekaligus berikut.
- Sistem ma'hadiyah, yaitu metode pengajian tradisional melalui sorogan dan bandongan.
- Sistem madrasiyah, yaitu pendidikan formal klasikal yang tersusun dalam jenjang.
Selepas wafatnya KH. Abd. Djalil pada 1947, kepemimpinan diteruskan oleh KH. Cholil Nawawie, yang memperkuat struktur kepengasuhan melalui pembentukan Pancawarga-sebuah lembaga permusyawaratan yang terdiri dari lima putra KH. Nawawie bin Noerhasan. Lembaga inilah yang menjadi dasar kuat sistem kelembagaan Sidogiri hingga sekarang.
Inovasi dan Ekspansi Kelembagaan
Meski dikenal sebagai pesantren tradisional, Sidogiri tidak pernah menutup diri dari inovasi. Justru perkembangan teknologi, media, dan sistem pendidikan menjadi tantangan yang mendorong Sidogiri untuk memperkuat diri tanpa melepaskan akar tradisi.
1. Perkembangan Pendidikan
Di bawah payung MMU, berbagai jenjang pendidikan berkembang pesat. Saat ini, MMU memiliki:
- Ibtidaiyah
- Tsanawiyah
- Aliyah
- Istidadiyah
- Program takhassus dan kajian kitab kuning
- Labsoma (Laboratorium Soal Madrasah) untuk mengasah kualitas akademik santri
- Program kursus bahasa Arab dan Inggris
Ilustrasi santri Pondok Pesantren Sidogiri Foto: sidogiri.net (dok. situs Pondok Pesantren Sidogiri) |
Sistem pendidikan ganda-klasikal dan tradisional-menjadi ciri khas Sidogiri sekaligus alasan banyak orang tua mempercayakan putra-putrinya untuk nyantri di sini.
2. Penguatan Organisasi Internal dan Alumni
Sidogiri memiliki organisasi besar yang menopang mobilitas dan hubungan antarsantri, di antaranya:
- ISS (Ikatan Santri Sidogiri)
- IASS (Ikatan Alumni Santri Sidogiri), jaringan alumni nasional yang aktif mengembangkan pendidikan dan dakwah
- Kopontren Sidogiri, koperasi pesantren yang bermula dari toko kecil dan kemudian berkembang menjadi jaringan usaha yang solid
Keberadaan koperasi dan organisasi ini memperkuat kemandirian ekonomi pesantren serta memperluas jaringan pengaruh Sidogiri di berbagai daerah.
3. Adaptasi Media dan Pengembangan Fasilitas
Dalam bidang media, Sidogiri juga melakukan langkah besar. Tahun 1994, pesantren menerbitkan Majalah IJTIHAD, yang berfungsi sebagai media dakwah dan edukasi.
Secara fisik, pesantren terus membangun fasilitas baru seperti:
- Gedung-gedung madrasah
- Asrama santri berkapasitas besar
- Perpustakaan
- Balai pengobatan
- Area olahraga dan sarana ibadah
Perkembangan infrastruktur ini memastikan Sidogiri mampu menampung puluhan ribu santri yang datang setiap tahun.
Konsistensi Tradisi di Tengah Arus Modernisasi
Sidogiri menghadapi derasnya arus globalisasi-mulai dari perkembangan pendidikan formal, perubahan budaya, hingga penetrasi teknologi digital. Meski demikian, pesantren ini tetap kokoh mempertahankan identitasnya sebagai pusat pendidikan Islam tradisional.
Santri Pondok Pesantren Sidogiri Foto: sidogiri.net (dok. situs Pondok Pesantren Sidogiri) |
Kekuatan Sidogiri terletak pada:
- Penguatan kurikulum berbasis kitab kuning
- Disiplin tinggi dalam amaliyah ibadah
- Sistem pengasuhan yang ketat namun penuh nilai
- Kepemimpinan yang selalu dijalankan oleh dzurriyah atau keturunan pendiri
- Kemandirian ekonomi melalui unit usaha pesantren
Kombinasi inilah yang membuat Sidogiri tidak hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi salah satu pesantren paling berpengaruh di Asia Tenggara.
Sebagai pesantren yang telah berdiri lebih dari dua setengah abad, Pondok Pesantren Sidogiri tetap menjadi pusat rujukan pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Jejak sejarahnya, sistem pendidikannya yang kokoh, jaringan alumninya yang luas, hingga kemampuan adaptasinya terhadap perkembangan zaman menjadikan Sidogiri sebagai institusi yang tidak hanya menjaga masa lalu, tetapi juga menata masa depan.
Dengan fondasi tradisi yang kuat dan inovasi yang terarah, Sidogiri akan terus menjadi rumah ilmu bagi generasi-generasi berikutnya, sekaligus pilar penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusantara.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)















































