Di tengah perkembangan pesisir Jawa Timur, terdapat sebuah destinasi yang memadukan unsur sejarah, religi, dan ekonomi kreatif dalam satu kawasan. Tempat itu dikenal sebagai Pasar Wisata Cheng Ho, sebuah ruang publik yang bukan hanya menawarkan pengalaman berbelanja, tetapi juga menghadirkan harmoni budaya yang unik, serta jejak perjalanan sejarah hubungan Jawa-Tiongkok.
Meski dikenal dekat dengan Surabaya, kawasan ini juga memiliki keterkaitan erat dengan sejarah penyebaran pedagang dan komunitas Tionghoa di Pasuruan dan wilayah sekitarnya. Pasar Wisata Cheng Ho menjadi satu di antara destinasi yang belakangan ramai dikunjungi wisatawan.
Selain berfungsi sebagai pusat ekonomi, tempat ini juga mempertegas peran penting akulturasi budaya Tionghoa-Islam di Jawa Timur, khususnya sejak ekspedisi besar Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Kedatangan Tionghoa di Pasuruan
Etnis Tionghoa dikenal sebagai bangsa dengan tradisi perdagangan yang kuat dan jaringan maritim yang luas. Sejak ribuan tahun lalu, mereka telah menjalin hubungan internasional dengan berbagai kerajaan di Asia, termasuk Nusantara. Catatan sejarah menunjukkan bahwa kedatangan komunitas Tionghoa ke Indonesia terjadi dalam beberapa gelombang besar.
Gelombang pertama diperkirakan berlangsung sejak masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara memperkuat hubungan dagang dengan dinasti di Tiongkok. Pertukaran komoditas seperti rempah, sutera, dan keramik tidak hanya menciptakan keuntungan ekonomi, tetapi juga memperkaya pertukaran budaya di kawasan Asia Tenggara.
Ilustrasi Cheng Ho Foto: (Muhammad Lugas Pribady/detikcom) |
Gelombang terbesar sekaligus paling berpengaruh terjadi pada awal abad ke-15. Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho (1405-1433) memimpin ekspedisi maritim besar yang mengunjungi berbagai pelabuhan penting di Nusantara. Pada tahun 1414, armadanya tercatat singgah di beberapa kawasan strategis di Jawa, termasuk Surabaya.
Selain membawa misi perdagangan, ekspedisi Cheng Ho juga memiliki tujuan diplomatik dan penyebaran nilai-nilai Islam. Sebagai seorang panglima beragama Islam, Cheng Ho menjalin hubungan dekat dengan Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kedekatan ini membuat etnis Tionghoa mendapatkan kepercayaan untuk mengelola pelabuhan di Semarang dan Lasem, langkah strategis yang kala itu memperlemah dominasi pelabuhan besar lain seperti Tuban dan Gresik.
Tidak hanya berdagang, komunitas Tionghoa pada masa itu juga berperan sebagai sekutu politik, pendukung dakwah Islam, serta motor penggerak ekonomi pesisir. Peran inilah yang kemudian mengakar kuat di sejumlah wilayah Jawa Timur, termasuk Pasuruan.
Masuknya Komunitas Tionghoa ke Surabaya dan Pasuruan
Seiring intensitas perdagangan yang makin tinggi, banyak pedagang Tionghoa yang kemudian memilih menetap di Surabaya dan sekitarnya. Sebagian datang seorang diri dan akhirnya menikah dengan perempuan pribumi.
Perkawinan campuran ini melahirkan komunitas Tionghoa yang beragam, mulai dari kelompok yang sepenuhnya melebur sebagai Jawa, yang tetap mempertahankan identitas Tionghoa, hingga kelompok yang memadukan keduanya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada abad ke-17, pusat permukiman Tionghoa di Surabaya mulai bergeser ke wilayah Bibis di selatan Ampel. Dengan pelabuhan Surabaya yang berkembang pesat dan menjadi salah satu pelabuhan terbesar setelah Batavia, pengaruh Tionghoa dalam perdagangan kian menguat.
Foto Lama Kawasan Pecinan Foto: Tropenmuseum |
Posisi geografis Surabaya yang strategis di muara Kali Mas dan Kali Brantas juga menjadikannya pusat distribusi hasil bumi. Keberadaan komunitas Tionghoa yang aktif dalam jaringan perdagangan ini turut memberi dampak pada kota-kota pesisir lainnya, termasuk Pasuruan.
Harmoni Belanja di Pasar Wisata Cheng Ho
Pasar Wisata Cheng Ho menjadi representasi dari warisan panjang hubungan dagang dan budaya tersebut. Berlokasi tidak jauh dari kawasan Masjid Cheng Ho, pasar ini menghadirkan suasana khas perpaduan budaya Tionghoa-Islam yang kuat, terlihat dari ornamen, arsitektur, hingga atmosfer keramaiannya.
Pasar Cheng Hoo Foto: Google Review |
Pengunjung dapat menemukan berbagai jenis produk, mulai dari kuliner tradisional Jawa dan Tionghoa, kerajinan tangan khas masyarakat pesisir. Lalu, produk UMKM, suvenir bernuansa Islami, hingga aksesori dan busana etnik.
Setiap stan bukan hanya sekadar tempat transaksi, tetapi juga ruang cerita tentang keragaman masyarakat Surabaya dan Pasuruan. Ada pedagang Jawa, Tionghoa, Arab, hingga Madura yang sama-sama memeriahkan aktivitas ekonomi di pasar tersebut.
Keragaman itulah yang menciptakan kesan harmoni dan menjadi magnet wisata. Lebih dari sekadar pusat belanja, Pasar Wisata Cheng Ho menjadi ruang perjumpaan sosial.
Pengunjung lokal, jemaah dari Masjid Cheng Ho, hingga wisatawan mancanegara sering terlihat berbaur dalam suasana yang ramah. Anak-anak berlarian, pedagang saling menyapa, dan wisatawan mengeksplorasi kuliner tradisional-semuanya menciptakan pengalaman yang hangat dan autentik.
Pasar ini juga menjadi wadah bagi UMKM untuk berkembang. Banyak pelaku usaha kecil menjadikan pasar ini sebagai tempat mempromosikan produk baru, mencoba strategi pemasaran, hingga berkolaborasi dengan komunitas kreatif. Tidak heran Pasar Wisata Cheng Ho kini mulai dikenal sebagai salah satu pusat ekonomi kreatif baru di Jawa Timur.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/ihc)














































