Bencana yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menelan banyak korban jiwa, merusak ribuan bangunan, dan meninggalkan kondisi memprihatinkan di masyarakat. Rentetan peristiwa itu memantik pertanyaan, apa yang menyebabkan terjadinya banyak bencana di Indonesia?
Sejumlah pakar berpendapat bahwa bencana-bencana ini tidak terlepas dari ketidakadilan ekologis. Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Mohammad Adib Drs MA memberikan penjelasan dari sudut pandang antropologi ekologi.
Dia menegaskan bahwa apa yang selama ini disebut sebagai "bencana alam" sebenarnya banyak dipicu oleh aktivitas manusia. Ia menyebutnya sebagai bencana antropogenik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prof Adib, masyarakat perlu mengubah cara memaknai bencana. Banjir, longsor, hingga kekeringan ekstrem bukanlah akibat alam yang "marah", tetapi hasil dari cara manusia memperlakukan ruang hidupnya.
"Hujan adalah siklus alam, tetapi banjir adalah bukti kegagalan sistem sosial dan budaya kita dalam merespons siklus tersebut. Ini menunjukkan bahwa kita telah melampaui daya dukung lingkungan (carrying capacity). Alam tidak sedang marah, ia hanya sedang merespons tekanan fisik yang kita berikan padanya," kata Prof Adib, Kamis (4/12/2025).
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini menyoroti krisis tata kelola ruang yang menjadi bagian penting dari persoalan saat ini. Menurutnya, pembangunan kerap hanya berpihak pada kepentingan jangka pendek manusia, sementara hak-hak ekologis alam justru diabaikan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat bumi "bernapas" seperti daerah resapan air, bantaran sungai, hingga hutan kota, perlahan berubah menjadi kawasan terbangun.
"Ironisnya, dampak dari kerusakan ini seringkali tidak dirasakan oleh pengambil kebijakan, melainkan oleh masyarakat kecil yang terpinggirkan ke zona-zona rawan bencana. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis," tegasnya.
Selain tata kelola ruang, Prof Adib juga menilai bahwa perubahan nilai budaya turut memperlebar jarak manusia dengan alam. Jika masyarakat tradisional dulu melihat alam sebagai mitra hidup-yang melahirkan kearifan seperti pamali dan hutan larangan-maka pola hidup modern mendorong manusia melihat alam hanya sebagai objek eksploitasi.
"Akar masalah dari semua ini adalah pergeseran ontologis atau cara pandang manusia modern terhadap alam. Budaya konsumeris membuat kita terus mengeruk sumber daya tanpa memberi waktu bagi alam untuk memulihkan diri," jelasnya.
Menurut Prof Adib, mitigasi bencana tidak cukup mengandalkan pembangunan fisik. Perlu ada perubahan cara pandang yang lebih mendasar, termasuk revolusi mental ekologis untuk mengembalikan etika kepedulian lingkungan dan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal dalam kebijakan tata kota modern.
Ia juga menilai negara sebagai regulator memiliki tanggung jawab besar dalam mengarahkan pembangunan yang lebih adaptif terhadap lingkungan. Namun, hingga kini ia belum melihat adanya peta jalan pembangunan lingkungan yang jelas dan berjangka panjang. Akibatnya, kebijakan di berbagai sektor berjalan secara sporadis tanpa arah yang tegas.
"Tanpa arah yang tegas dari pemerintah, upaya menjaga keseimbangan lingkungan hanya akan bergerak di tempat," ujarnya.
Prof Adib menegaskan, bencana bukanlah takdir yang tidak dapat diubah. Bencana adalah produk sosial dari cara hidup dan kebijakan yang melampaui batas daya dukung ekologis.
"Kita harus bergerak dari relasi eksploitatif menuju relasi adaptif yang menghargai kearifan lokal sebagai pertahanan ekologis terbaik. Ini adalah panggilan dari nilai budaya," pungkasnya.
(ihc/ihc)











































