Bencana yang Lebih dari Sekadar Fenomena Alam

Bencana yang Lebih dari Sekadar Fenomena Alam

Jihan Navira - detikJatim
Kamis, 04 Des 2025 01:00 WIB
Bencana yang Lebih dari Sekadar Fenomena Alam
ILUSTRASI BENCANA ALAM. Foto: Gemini AI
Surabaya -

Bencana kerap dipahami sebagai peristiwa alam yang datang tanpa bisa dihindari. Gempa bumi, banjir, badai, atau kebakaran hutan dianggap sebagai bagian dari siklus bumi yang terus bergerak dan berubah.

Namun, di balik peristiwa-peristiwa tersebut, muncul pertanyaan yang lebih dalam, sejauh mana bencana benar-benar murni berasal dari alam, dan sejauh mana ia dibentuk oleh keputusan, serta cara manusia memperlakukan lingkungannya?

Gagasan ini melihat bencana bukan semata sebagai kejadian fisik, melainkan pertemuan antara kekuatan alam dan kondisi yang diciptakan manusia. Tata ruang yang tidak bijak, kerusakan ekosistem, hingga sikap abai terhadap keseimbangan lingkungan kerap memperbesar dampak dari bahaya yang seharusnya bisa diredam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sini, bencana tidak lagi berdiri sebagai takdir yang sepenuhnya tak terelakkan, tetapi sebagai cermin hubungan manusia dengan alam yang perlu terus ditinjau ulang.

Bencana dari Alam atau Manusia?

Di balik setiap bencana, tersimpan benang merah yang jarang disadari, peristiwa alam kerap bertemu dengan keputusan manusia yang menentukan besar-kecilnya dampak. Cara manusia membangun, mengelola ruang, hingga memperlakukan lingkungan perlahan membentuk tingkat kerentanan yang sering luput dari perhatian.

ADVERTISEMENT

Pandangan ini sejalan dengan gagasan "There is no such thing as a natural disaster" atau "tidak ada yang namanya bencana alam", yang pertama kali dikenalkan oleh ilmuwan geografi Amerika Serikat, Gilbert F White.

Inti pemikirannya sederhana, bencana bukan semata sesuatu yang terjadi pada manusia, melainkan juga dapat menjadi hasil dari keputusan yang diambil dalam mengelola alam. Pemikiran ini kini banyak dipopulerkan di tingkat internasional, termasuk figur publik maupun masyarakat di Indonesia.

Bencana tidak selalu murni lahir dari alam. Alam memang memicu bahaya, tetapi besarnya dampak sering kali ditentukan bagaimana manusia meresponsnya, mulai dari keputusan pembangunan, tata kelola lingkungan, hingga kebijakan yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem.

Berdasarkan kerangka berpikir dari "no such thing as a natural disaster" atau "tidak ada yang namanya bencana alam", bencana itu terjadi ketika bahaya dari alam bertemu dengan kerentanan sosial.

Kerentanan itu bisa tercipta melalui hilangnya hutan penahan air, pembukaan lahan besar-besaran, lemahnya pengawasan lingkungan, pemukiman di daerah rawan, hingga kapasitas mitigasi yang masih terbatas.

Kita sebut saja hutan sebagai jantung kehidupan di bumi. Selain menyediakan sumber daya alam yang bisa dikelola manusia untuk keberlangsungan hidup, secara alami hutan sudah menjadi benteng alami atau pelindung bagi manusia dari bahaya alam.

Misalnya tsunami, hutan mangrove yang mampu memperlambat kecepatan gelombang tsunami. Sederhananya, mangrove berperan penting dalam memblokir air dengan skala yang banyak agar tidak masuk ke pemukiman.

Hal ini menunjukkan bagaimana alam dan manusia memiliki peran serta posisi yang berdampingan untuk berjalan secara harmoni. Alam hanya menunjukkan apa yang selalu ia lakukan, seperti bergerak (pemicu gempa bumi), mengalir (pemicu tsunami), berubah (perubahan musim).

Begitu pula dengan manusia, memiliki peran untuk menjaga dan mengelola lingkungan yang berdampak pada kelangsungan hidup. Apakah aman dari bahaya alam, atau tidak.

Pola pikir yang dicetus Gilbert, yaitu tidak ada bencana yang benar-benar alami bukanlah tudingan serta tidak serta-merta menuding kesalahan satu pihak. Tetapi juga tak dapat mengabaikan bahwa peristiwa ini berdiri semata karena kejadian alam.

Hal ini menjadi refleksi diri bagi kita semua. Pada skala besar, hal ini bersinggungan langsung dengan kebijakan serta praktik politik maupun ekonomi. Misalnya, ketika pembukaan lahan besar-besaran baik itu untuk pemukiman, perkebunan, atau bahkan pertambangan, apakah sudah dikaji dengan benar?

Setelah kajian dirasa cukup matang untuk perizinan, apakah pengawasan lingkungan berjalan dengan baik? Apakah nantinya akan ada proses recovery untuk mengembalikan alam sesuai dengan perannya?

Itulah contoh betapa pentingnya pengambilan risiko yang memiliki dampak bagi kerusakan alam. Ketika kawasan resapan hilang, tidak menutup kemungkinan terjadi 'bencana' banjir bandang. Ketika pemukiman dibangun di wilayah rawan, tidak menutup kemungkinan jika terjadi 'tanah longsor', dan lain-lain.

Tak hanya sekadar berbicara dalam skala besar, skala kecil pun turut dipertanyakan. Misalnya, apakah sudah membuang sampah pada tempatnya? Masihkah membuang sampah di sungai atau bahkan laut?

Di titik inilah perdebatan muncul. Sebagian pihak menilai praktik pengelolaan hutan sudah mengikuti aturan yang berlaku. Di sisi lain, masyarakat dan pemerhati lingkungan mempertanyakan seberapa ketat pengawasan dilakukan, serta apakah izin yang dikeluarkan telah mempertimbangkan daya dukung ekosistem.

Deforestasi Hutan

Hutan sebagai jantung kehidupan yang mengalami tekanan atau kerusakan akan mengakibatkan kegagalan fungsi. Seperti halnya deforestasi hutan yang mengakibatkan kenaikan risiko dampak bahaya dari alam.

Melansir jurnal berjudul Peninjauan Bencana Alam akibat Deforestasi Hutan dan Tantangan Penegakan Hukum mengenai Kebijakan Penebangan Hutan Berskala Besar di Indonesia oleh Shafira Salsabil Auliyya Ansar, Aulia Rahmawati, dan Radhitya Dhimas Arrahman, deforestasi mempengaruhi kerusakan alam, seperti:

  • Kekeringan terjadi karena menurunnya daya serap hutan, penyimpanan, hingga pasokan air.
  • Banjir terjadi karena hutan tak lagi memiliki ddaya tahan tinggi terhadap erosi dan hambatan aliran air.
  • Longsor tanah, kondisi di mana struktur tanah menjadi lebih susceptible terhadap longsor akibat hutan yang hilang atau rusak.
  • Kebakaran hutan dikarenakan hutan menjadi lebih kering setelah terkena dampak deforestasi.
  • Perubahan iklim karena penggunaan lahan hutan untuk keperluan lain mengurangi kapasitas hutan untuk menyerap karbon dan mempercepat perubahan iklim.

Deforestasi juga disebut mempengaruhi kualitas hidup masyarakat karena memberi dampak sosial dan ekonomi yang negatif, meliputi pengurangan sumber daya alam sehingga kualitas dan kuantitas makan menurun.

Deforestasi pun menyebabkan kemiskinan di beberapa wilayah yang masyarakatnya bergantung pada hasil hutan, termasuk peningkatan angka pengangguran. Pencemaran lingkungan pastinya tidak lepas menjadi dampak dari deforestasi hutan ini.

Aktivitas pertanian dan industri perlahan menggantikan peranan hutan dalam mendaur ulang limbah hasil aktivitas manusia. Akibatnya, pencemaran air, udara, dan tanah menjadi semakin sulit dikendalikan.

Sehingga berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Deforestasi juga memicu krisis dalam tata kelola kehutanan dan penegakan hukum, mulai dari lemahnya pengawasan hingga persoalan paling krusial, yaitu proses perizinan.

Menghentikan Kerusakan dengan Aksi Nyata

Kehancuran mungkin bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, tetapi kehancuran juga kerap berakar dari ketidakacuhan. Oleh karena itu, langkah pertama yang penting dilakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai bahaya alam, serta dampak dari kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Kurangnya pemahaman tentang pentingnya kelestarian hutan dan ekosistemnya dapat menjadi hambatan bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan terkait kawasan hutan. Praktik penebangan pohon ilegal, pembakaran hutan, hingga perburuan liar, terutama satwa endemik, menjadi contoh nyata dari persoalan tersebut.

Masalah ini tidak bisa diatasi satu atau dua pihak, melainkan membutuhkan sinergi dari seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Di tingkat pemerintahan sebagai pemangku kebijakan berskala besar, diperlukan perhatian dan kehati-hatian lebih dalam menetapkan keputusan yang tepat.

Upaya tersebut dapat ditempuh melalui langkah-langkah seperti penerapan moratorium agar tidak mengorbankan sumber daya alam. Pengkajian dalam proses perizinan pun harus dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan aspek sosial, politik, dan ekonomi.

Pengawasan terhadap deforestasi dan kebakaran hutan perlu dijalankan secara konsisten, disertai penegakan hukum lingkungan sesuai aturanu. Pengelolaan hutan secara lestari serta pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan juga penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem flora dan fauna endemik khas Indonesia.

Ketika penegakan hukum berjalan kuat, perlindungan lingkungan digalakkan, kebijakan diimplementasikan secara tepat, kerja sama lintas sektor terbangun dengan seimbang, serta penyimpangan dan korupsi diberantas, semua itu tetap membutuhkan dukungan berupa partisipasi aktif dari masyarakat.

Masyarakat berhak terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait penebangan hutan maupun pembukaan lahan. Di saat yang sama, upaya menjaga kelestarian alam juga dapat dilakukan melalui langkah-langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar.

Halaman 2 dari 2
(hil/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads