Pekerjaan Pasutri Manusia Jurang di Mojokerto

Round Up

Pekerjaan Pasutri Manusia Jurang di Mojokerto

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Rabu, 03 Des 2025 10:00 WIB
Pekerjaan Pasutri Manusia Jurang di Mojokerto
Kediaman manusia jurang di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Di balik rimbunnya hutan dan curamnya Jurang Gembolo, Mojokerto, tersimpan kisah keteguhan hidup Karmin dan Simpen. Selama 22 tahun, pasangan ini memilih menetap di dasar jurang yang terpencil, menggarap lahan hutan, dan mempertahankan kehidupan sederhana yang penuh kesetiaan.

Pasangan suami istri Karmin alias Pak Soleh (71) dan Simpen (56) telah 22 tahun hidup di dasar Jurang Gembolo, Mojokerto. Keputusan itu mereka ambil bukan karena ingin mengasingkan diri, melainkan dorongan cinta, kemandirian, dan rasa sungkan menumpang hidup pada anak-anak mereka yang kini telah berumah tangga.

Mereka menggarap lahan Perhutani untuk hidup selama 22 tahun di dasar Jurang Gembolo, Mojokerto. Pasangan suami istri ini juga beternak kambing dan budi daya ikan mujair.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karmin berasal dari Desa Nogosari, Pacet, Mojokerto. Ia anak sulung 3 bersaudara dari pasangan Warsiman dan Piah. Sedangkan Simpen dari Desa Centong, Gondang, Mojokerto.

Awalnya, Warsiman yang menggarap lahan di dasar Jurang Gembolo. Luasnya sekitar 1,5 hektare milik Perhutani Kesantuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan. Hanya saja, Warsiman memilih pulang pergi dari rumahnya di Desa Nogosari.

ADVERTISEMENT

Karmin dan Simpen, manusia jurang yang hidup di dasar lembah di lereng Gunung Welirang, Mojokerto.Karmin dan Simpen, manusia jurang yang hidup di dasar lembah di lereng Gunung Welirang, Mojokerto. Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Sejak 2003 atau sekitar 22 tahun silam, Karmin melanjutkan jejak bapaknya. Sebab ia merasa sudah tak mampu bekerja sebagai tukang kayu dan bangunan. Profesi yang selama ini ia tekuni. Saat itu, usianya 49 tahun, sedangkan Simpen baru 34 tahun.

Bedanya, Karmin dan Simpen benar-benar hijrah ke dasar Jurang Gembolo. Pasutri anak 5 ini membuat rumah yang sangat sederhana di tempat terpencil ini. Mereka bahu membahu mencari nafkah mengandalkan potensi alam.

"Di sini ada ladang, saya tanami tanaman yang menghasilkan. Kalau di rumah kan tidak punya apa-apa. Jadi, di sini intinya cari makan," terangnya kepada wartawan di rumahnya, Senin (1/12/2025).

Selama 22 tahun, Karmin dan Simpen menggarap ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup di dasar Jurang Gembolo. Seperti saat ini, mereka menanam ketela, singkong, pisang, jahe kebo dan kacang. Jahe kebo menjadi komoditas andalan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Karmin menanam jahe dengan luas sekitar 2.800 meter persegi.

"Sudah panen 5 kwintal, sekarang harganya Rp 20.000/Kg. Masih banyak belum saya panen. Tidak dihabiskan supaya bisa setiap minggu panen sepanjang tahun," jelasnya.

Tidak hanya bercocok tanam, Karmin dan Simpen juga budi daya ikan mujair dan kambing brahman. Kolam ikan berada di depan rumahnya. Sedangkan 3 kandang berisi 7 ekor kambing di sebelah kiri rumah mereka.

Itu tidak termasuk 2 ekor kambing yang belum lama ini mereka jual Rp 5 juta. Dalam kesehariannya, Karmin dan Simpen berbagi peran. Ketika Karmin mencangkul di ladang, Simpen mencari rumput untuk pakan kambing.

"Kalau ikan mujair tapi tak sampai jual, nanti tahun baru anak-anak ke sini, diunduh dibawa pulang buat masakan, kadang dikasih uang, kadang tidak," ungkapnya.

Satwa liar kerap menjadi hama yang merusak tanaman mereka. Mulai dari kera, babi hutan, hingga landak. Oleh sebab itu, Karmin memelihara seekor anjing yang dinamai Belang. Anjing inilah yang setia menjaga ladang sekaligus rumah mereka dari binatang buas.

"Dulu (anjing) 2 ekor, yang satu dipinjam pemburu babi hutan, hilang tidak pernah pulang," terangnya.

Simpen mengikuti langkah suaminya sejak 2003. Dengan penuh senyum, ia menjalani peran ganda-menemani suami di rumah bambu sederhana sekaligus membantu bertani dan beternak.

"Bagaimana ya karena suami saya, cinta," ujarnya ketika ditanya alasan bersedia hidup terpencil.

Simpen menikah dengan Karmin pada 2001. Saat itu ia berusia 32 tahun, sementara Karmin sudah memiliki dua anak dari istri pertamanya. Dari pernikahan mereka, lahirlah tiga putra, namun takdir berkata lain saat putra kedua meninggal dalam kecelakaan kerja.

Simpen yang setia menemani suaminya, Karmin alias Pak Soleh (71) selama 22 tahun hidup terpencil di dasar Jurang Gembolo, MojokertoSimpen yang setia menemani suaminya, Karmin alias Pak Soleh (71) selama 22 tahun hidup terpencil di dasar Jurang Gembolo, Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim

"Meninggalnya jatuh saat bekerja. Padahal, baru 8 bulan menikah, belum punya anak," tutur Simpen.

Awal tinggal di jurang, Simpen masih pulang kampung tiga kali seminggu untuk mengasuh anak dan mengikuti kegiatan warga. Kini, keluar hutan ia lakukan rata-rata dua kali sebulan, untuk mampir ke rumahnya di Dusun Centong dan belanja di Pasar Pandan.

"Kalau sekarang jarang pulang (ke kampung) karena harus bantu suami mencari rumput (untuk pakan kambing)," jelasnya.

Karmin bersyukur memiliki pendamping seperti Simpen yang mau bekerja bersama di kebun jahe, palawija, pisang hingga budi daya ikan mujair dan kambing.

"Puji syukur alhamdulillah istri saya ajak bekerja seperti ini mau," katanya.

Selama dua dekade lebih, hasil panen mereka tak hanya mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi juga cukup untuk membantu empat anak Karmin sedikit demi sedikit setiap panen.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, Karmin mengaku jarang dijenguk anak-anaknya ke dasar jurang. Ia memilih pulang sendiri bila rindu.

"Saya pulang kadang-kadang sebulan sekali. Saya kabari (anak-anak) kalau saya pulang supaya kalau kangen mereka datang ke Centong. Yang kasih kabar istri lewat WhatsApp," ujarnya.

Kendati begitu, hubungan keluarga tetap terjaga. Karmin rutin pulang kampung saat malam Jumat Legi untuk ziarah makam orang tua dan putranya.

"Saya pulang kalau malam Jumat Legi untuk nyekar sekalian disuruh berdoa oleh tetangga acara tahlil di rumah pak RT. Katanya kalau saya belum pulang kurang mantap," jelasnya.

Sang anak sulung, M Soleh (48), mengaku jarangnya menjenguk memang sengaja dilakukan agar orang tuanya tergerak pulang kampung. "Itu strategi kami biar orang tua kami pulang. Biar terketuk hatinya, oh ya anak-anak tidak mau datang, biar aku pulang saja," tandasnya.

Rumah berukuran 3x5 meter itu terbuat dari bambu dengan lantai tanah. Dikelilingi hutan lebat, perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari. Medannya ekstrem dengan jalan setapak sempit, jurang dalam di satu sisi, menuruni tebing curam, menyeberangi sungai, hingga melewati hutan bambu.

Melihat lebih dekat pasutri yang tinggal di dasar jurang MojokertoMelihat lebih dekat pasutri yang tinggal di dasar jurang Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto

Status Lahan Berubah Jadi KHDPK

Lahan sekitar 1,5 hektare yang mereka garap selama ini bukan lagi berada di bawah Perhutani. Kepala BKPH Pacet, Priyo Purwanto menjelaskan bahwa sejak 2018 area itu menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

"Itu petak 3I, itu kan kawasan perhutanan sosial KHDPK. Itu kan lahan Perhutani yang diminta oleh negara. Sehingga pengelolaannya bukan Perhutani, tapi ke Dinas Kehutanan Jatim," jelasnya kepada detikJatim, Selasa (2/12/2025).

Lahan tersebut sebelumnya digarap ayah Karmin, mendiang Warsiman, yang memilih pulang-pergi dari rumah ke lahan itu. Pada 2003, pengelolaan dilanjutkan Karmin dan Simpen ketika mereka memutuskan tinggal menetap di dasar jurang.

Priyo mengaku tidak menemukan dokumen kerja sama lama terkait penggarapan lahan itu. "Dokumen-dokumen tidak ada di kantor asper. Itu kan hutan lindung, bukan hutan produksi," tegasnya.

Meski hidup jauh di pedalaman, pasangan ini tetap menjaga hubungan sosial, menggarap lahan tanpa merusak hutan, dan menjalani kehidupan yang dianggap banyak orang ekstrem. Namun bagi Karmin dan Simpen, tempat terpencil itu justru rumah yang paling nyaman.

Dengan segala keterbatasan, mereka tetap bertahan, bekerja berdampingan, dan menua bersama. Kesetiaan Simpen menjadi fondasi utama dari cerita panjang manusia jurang Mojokerto ini.

Halaman 3 dari 3


Simak Video "Video: Kisah Pasutri 22 Tahun Hidup di Dasar Jurang Mojokerto"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads