Di tengah ramainya perbincangan publik mengenai manusia gua di Jombang, fenomena serupa rupanya juga terjadi di Mojokerto. Sepasang suami istri, Karmin alias Pak Soleh dan Simpen, telah memilih hidup terpencil selama lebih dari dua dekade di dasar Jurang Gembolo.
Kediamannya berada di sebuah lembah terjal dan sunyi di lereng Gunung Welirang yang hanya bisa dicapai dengan perjalanan ekstrem.
22 Tahun Hidup Terasing di Dasar Jurang
Karmin (71) dan Simpen (56) tinggal di lokasi yang tak lazim, yakni di dasar Jurang Gembolo, kawasan perbatasan Kecamatan Pacet dan Trawas, Mojokerto. Jurang ini sangat dalam dan berada di antara dua bukit besar kawasan Gunung Welirang. Di bagian dasarnya mengalir sungai yang menjadi pembatas alami Pacet dan Trawas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasutri ini sudah menempati lokasi terpencil tersebut sejak 2003. "Saya sudah 20 tahun lebih tinggal di sini, sejak tahun 2003," terang Karmin kepada wartawan, Minggu (30/11/2025).
Mereka menumpang di lahan Perhutani KPH Pasuruan dan secara administrasi rumah mereka masuk wilayah Desa Sukosari, Trawas. Meski berada di dasar jurang, area tempat tinggal mereka cukup datar dengan sungai sekitar 50 meter dari rumah.
Perjalanan Ekstrem Menuju "Rumah Jurang"
Akses menuju rumah Karmin dan Simpen bukan sekadar jauh, melainkan juga menantang nyawa. Rute tercepat adalah dari Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari, Pacet. Perjalanan dimulai dengan jalan setapak yang biasa digunakan petani.
Sekitar 15 menit pertama, motor masih bisa melaju. Namun sebagian lintasan sangat berbahaya karena satu sisinya langsung berbatasan dengan jurang dalam. Setelah itu, perjalanan hanya dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit.
Jalur pejalan kaki mengikuti plengsengan saluran irigasi, lalu semakin masuk ke hutan yang lebat. Jalan setapak berada tepat di tepi jurang, sementara sisi kanan berupa bukit terjal yang dipenuhi pepohonan. Suara gemericik air dan serangga hutan menemani setiap langkah.
Medan paling ekstrem muncul ketika harus turun ke dasar jurang melalui jalur curam dan licin, kemudian menyeberangi sungai dan naik ke hutan bambu sebelum akhirnya tiba di rumah kecil pasangan tersebut.
Rumah Sederhana di Tengah Hutan Lebat
Rumah Karmin dan Simpen berukuran sekitar 3x5 meter. "Rumah ini saya bangun sendiri. Luasnya sekitar 3x5 meter persegi," ujarnya.
Bangunan ini sangat sederhana. Lantainya berupa tanah padat, dinding dan tiang dari bambu, sebagian atap dari genting, sebagian lainnya dari bambu. Rumah tersebut hanya memiliki tiga ruangan, yakni ruang utama, kamar tidur, dan dapur.
Meski hidup jauh dari pemukiman, mereka telah memasang panel surya sebagai sumber listrik dan memanfaatkan air dari mata air melalui pipa untuk kebutuhan mandi, masak, dan mencuci.
Rumah ini dikelilingi ladang, kebun, serta hutan yang masih sangat lebat. Lokasi yang jauh dan terpencil membuat suasana begitu sunyi, hanya sesekali terdengar suara satwa hutan.
Asal Usul Karmin Dari Tukang Kayu hingga Menyepi ke Hutan
Karmin berasal dari Desa Nogosari, Pacet. Ia anak sulung dari tiga bersaudara, anak pasangan Warsiman dan Piah. Ayahnya meninggal pada 2012, disusul ibunya pada 2013. Karmin lahir 2 Maret 1954 dan pernah bekerja sebagai tukang kayu dan bangunan.
Ia memiliki dua anak dari istri pertama. Setelah bercerai, ia menikah dengan Simpen pada 2001 dan dikaruniai tiga anak laki-laki. "Saya punya anak 5, tapi anak ketiga meninggal dunia," ujarnya.
Empat anaknya kini hidup terpisah di berbagai desa di Mojokerto, masing-masing telah berumah tangga.
Anak sulung Karmin, M Soleh (48), mengenang bahwa ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan sebelum memilih hidup di hutan.
"Dulu tukang kayu dan bangunan di Nogosari sampai pindah Centong," jelasnya.
Soleh mengaku tidak mengetahui proses orang tuanya memutuskan tinggal di hutan karena saat itu ia tinggal di Bali sebagai anak angkat.
"Tahunya waktu saya pulang sekitar tahun 2010, dapat kabar dari saudara kalau orang tua hidup di hutan. Tidak hanya kaget, tapi adik-adik bilang tidak bisa dicegah," tandasnya.
Alasan Bertahan Hidup di Pedalaman Jurang
Saat ditanya alasan memilih hidup jauh dari kampung, Karmin menyebut faktor pekerjaan dan kenyamanan.
"Kalau saya kerja di rumah sudah tidak mampu. Di rumah kan kerja disuruh orang. Kalau disuruh orang sehari harus ful. Kalau di sini istilahnya itu garap ladang sendiri, tidak ada yang menyuruh," ungkapnya.
Selama 22 tahun tinggal di Jurang Gembolo, Karmin dan Simpen menggarap ladang sekitar 1,5 hektare. Lahan itu dulunya dikelola mendiang ayahnya. "Saya ingat semasa kecil, saat libur sekolah saya ikut ke sini," kenangnya.
Alasan lain yang membuat mereka enggan kembali ke desa adalah kerisauan menjadi beban anak.
"Kalau ikut anak, seumpama minta duit kan sungkan. Karena satunya anak, satunya menantu. Belum tentu anak punya uang terus," ujarnya.
Karmin lebih memilih mencari nafkah melalui hasil ladang, pisang, atau komoditas lain. "Di sini intinya cari makan," jelasnya.
Pilihan hidup ini tak pernah didukung anak-anak. Namun Karmin dan Simpen tetap bersikukuh melanjutkan kehidupan di dasar jurang.
"Adik-adik bilang tidak bisa dicegah. Alasannya ingin hidup tenang, lalu melanjutkan (menggarap ladang) yang pernah digarap kakek saya," tutur M Soleh.
Meski hidup dengan fasilitas sangat terbatas, jauh dari keramaian dan berbatasan dengan hutan lebat, Karmin dan Simpen tampak nyaman dengan kehidupan yang mereka pilih. Jurang Gembolo bukan hanya tempat tinggal, melainkan ruang tempat mereka menemukan ketenangan-jauh dari hiruk pikuk desa, tetapi juga jauh dari segala kemudahan modern.
Simak Video " Video: Tampang Alvi Pemutilasi Pacar Berbaju Tahanan Usai Jadi Tersangka"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)











































