Perjuangan Guru 18 Tahun Mengabdi di Daerah Terpencil Sidoarjo

Perjuangan Guru 18 Tahun Mengabdi di Daerah Terpencil Sidoarjo

Suparno - detikJatim
Selasa, 25 Nov 2025 16:45 WIB
Ahmad Fadholi saat berangkat mengajar di SD negeri terpencil Dusun Kepentingan Sawohan Sidoarjo
Ahmad Fadholi saat berangkat mengajar di SD negeri terpencil Dusun Kepentingan Sawohan Sidoarjo. (Foto: Suparno/detikJatim)
Sidoarjo -

Menjadi guru di daerah terpencil bukan sekadar pekerjaan, melainkan perjuangan panjang yang penuh pengorbanan. Hal itu dirasakan Ahmad Fadholi, yang sudah menjadi guru SDN Sawohan 2 sejak Maret 2008 atau selama 18 tahun mendapat surat tugas mengajar di wilayah pesisir terpencil Kecamatan Buduran, Sidoarjo.

Di lokasi itu berdiri dua sekolah dalam satu area, SDN Sawohan 2 dengan 28 siswa dari kelas 1 hingga 6, dan SMPN Satu Atap Buduran yang memiliki sekitar 19 siswa dari kelas 7 sampai 9. Dengan jumlah tenaga pengajar sangat terbatas, Ahmad kerap merangkap tugas demi memastikan seluruh siswa tetap mendapat layanan pendidikan.

Untuk sampai ke sekolah, Ahmad harus memilih antara dua jalur, lewat darat atau sungai. Keduanya sama-sama penuh tantangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau lewat sungai butuh waktu sekitar satu jam. Kalau darat sekitar 30 menit, tapi jalannya sering putus karena melewati tambak. Itu bukan jalan umum, jadi kami sering muter-muter," ungkap Ahmad kepada detikJatim, di SD Negeri 2 Sawohan yang terletak di Dusun Kepentingan Desa Sawohan Sidoarjo, Selasa (25/11/2025).

Kondisi cuaca turut memperparah perjalanan. Hujan dan pasang laut membuat jalur semakin berbahaya, bahkan terkadang tidak bisa dilalui sama sekali.

ADVERTISEMENT

Keterbatasan fasilitas menjadi tantangan lain. Meski ruang kelas dinilai cukup, kondisi bangunan mulai rusak karena lingkungan pesisir.

"Tembok-tembok banyak yang rontok karena air asin. Takutnya jatuh dan membahayakan anak-anak, jadi perlu direhab," ujarnya.

Akses internet pun menjadi persoalan. Sinyal hanya bisa didapat di titik tertentu dengan mencari lokasi yang lebih tinggi.

"Kalau internet hanya cukup untuk sekolah ini saja sudah Alhamdulillah. Saat ini sinyal sering hilang," tambahnya.

Sebagai guru di wilayah terpencil, Ahmad juga menghadapi keterbatasan, beban administratif pun kerap menyulitkan. Mulai dari pengurusan kenaikan pangkat hingga pembaruan data guru.

"Kami kadang kalah informasi dengan guru-guru di darat. Bukan lambat, tapi akses kami terbatas. Data yang dibutuhkan sering tidak ada. Tolong lah ada dispensasi dan perhatian untuk guru-guru seperti kami," pintanya.

Meski berbagai hambatan mengadang, semangat Ahmad tidak pernah padam. Baginya, pengabdian kepada anak-anak di wilayah terluar adalah panggilan hati.

"Kita harus ikhlas memperhatikan anak bangsa meskipun jauh dari kota. Saya ingin anak-anak di sini tidak kalah dengan yang di darat," tegasnya.

"Belajarlah rajin. Jangan menyerah. Kejar cita-cita setinggi mungkin. Saya ingin mereka jadi orang hebat dan sukses," imbuhnya.

Di akhir penuturannya, Ahmad meminta pemerintah lebih serius memperhatikan guru di daerah terpencil

"Kami sudah diperhatikan, tapi mohon lebih diperhatikan kesejahteraannya. Bantu kami dalam administrasi dan fasilitas, agar kami termotivasi terus mengajar sampai kapan pun," tutupnya.

Di tengah keterbatasan, perjuangan Ahmad Fadholi menjadi bukti bahwa pendidikan di pelosok masih bertahan berkat dedikasi guru-guru yang tak pernah lelah mengabdi. Mereka bekerja dalam sunyi, namun membawa cahaya bagi masa depan anak-anak bangsa.




(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads