KH. Yahya Cholil Staquf, atau lebih dikenal sebagai Gus Yahya, merupakan salah satu tokoh dalam gerakan Islam Nusantara dan pemimpin penting bagi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Kabar terbaru menyoroti posisi Gus Yahya yang diminta untuk segera mundur dari posisinya sebagai Ketum PBNU.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Dilansir dari laman NU Online, Gus Yahya lahir pada 16 Februari 1966 di Rembang, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga besar ulama NU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gus Yahya adalah putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri, tokoh penting NU. Ia juga merupakan keponakan dari ulama besar KH. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Pendidikan agama Gus Yahya dimulai di lingkungan pesantren keluarga, Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Ia kemudian melanjutkan pendalaman ilmu ke Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, salah satu pesantren terkemuka dalam tradisi kajian kitab kuning.
Selain menempuh pendidikan pesantren, Gus Yahya meraih pendidikan formal di Universitas Gadjah Mada (UGM), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Sosiologi. Kombinasi pendidikan pesantren dan akademik modern memberikan fondasi kuat terhadap cara berpikir dan gaya kepemimpinannya yang inklusif dan komunikatif.
Perjalanan Karier dan Kiprah di NU
Kiprah Gus Yahya di Nahdlatul Ulama terbentang panjang. Ia pernah menjabat di berbagai posisi strategis sebelum akhirnya terpilih sebagai Ketum PBNU.
Jabatan penting di NU:
Katib A'am PBNU (2015-2021)
Ketua Umum PBNU (2021-2026)
Gus Yahya juga sering menegaskan bahwa NU bukan organisasi politik, melainkan ormas keagamaan yang fokus pada khidmah, pendidikan, sosial, dan penguatan kebangsaan. Sikap ini menjadi salah satu pijakan penting dalam merawat independensi NU di tengah dinamika politik nasional.
Peran Gus Yahya dalam Pemerintahan dan Diplomasi Internasional
Gus Yahya tidak hanya terlihat dalam tubuh Nahdlatul Ulama, tetapi juga meluas hingga ke lingkup pemerintahan dan panggung diplomasi internasional. Keahliannya dalam membaca situasi sosial, kemampuan komunikasinya yang kuat, serta pendekatan keagamaannya yang moderat membuatnya kerap dipercaya mengemban tugas strategis.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Gus Yahya ditunjuk sebagai Juru Bicara Presiden RI. Penunjukan ini mencerminkan pengakuan atas kapasitasnya dalam menyampaikan kebijakan negara sekaligus menjembatani komunikasi antara pemerintah dan publik di masa yang penuh dinamika.
Perannya dalam pemerintahan kembali berlanjut ketika Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada tahun 2018. Melalui posisi ini, Gus Yahya memberikan masukan strategis kepada Presiden terkait isu-isu kebangsaan, keagamaan, hingga geopolitik.
Kiprah Gus Yahya juga menembus platform internasional. Ia aktif hadir dalam berbagai forum global yang membahas dialog antaragama, perdamaian dunia, dan moderasi beragama. Suaranya kerap mewakili pandangan Islam Indonesia yang inklusif, toleran, dan terbuka terhadap kerja sama lintas budaya.
Beredarnya Risalah Rapat Syuriah PBNU
Dalam beberapa waktu terakhir, nama Gus Yahya menjadi sorotan setelah beredar sebuah risalah rapat yang diklaim sebagai Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU, tertanggal Kamis, 29 Jumadil Ula 1447 H / 20 November 2025 M.
Rapat yang disebut berlangsung di Hotel Aston City Jakarta itu dihadiri oleh 37 dari 53 orang Pengurus Harian Suriah, dan KH. Miftachul Akhyar bertindak sebagai pimpinan rapat.
Salah satu keputusan yang tercantum dalam risalah tersebut yaitu meminta KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam kurun waktu 3 hari ke depan.
Adapun alasan permintaan pengunduran diri Gus Yahya yang disebutkan dalam risalah tersebut terkait hubungannya dengan jaringan Zionisme internasional.
Artikel ini telah tayang di detikHikmah. Klik di sini.
(dpe/abq)











































