Hidup di dalam gua mungkin terdengar seperti kisah masa lampau. Tetapi, beberapa waktu lalu masyarakat Jombang dihebohkan seorang pria yang telah menetap di sebuah gua selama puluhan tahun.
Sosok tersebut adalah Sudarmaji atau Mbah Darmaji, yang diketahui tinggal di Gua Anggas Wesi, kawasan hutan pedalaman Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang di Pegunungan Anjasmoro. Kisahnya memantik kembali pertanyaan mendasar, apakah gua memang layak dijadikan tempat tinggal pada masa kini?
Fenomena ini juga membuka kembali pembahasan mengenai sejarah manusia penghuni gua, alasan nenek moyang memilih gua sebagai tempat berlindung, hingga bagaimana pandangan ilmiah dan sosiologis terhadap kasus individu yang memilih mengasingkan diri di alam liar. Berikut rangkuman lengkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah Mbah Darmaji Manusia Gua di Jombang
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan kabar seorang pria yang menetap di dalam gua selama lebih dari empat dekade. Sudarmaji, atau yang akrab disapa Mbah Darmaji, tercatat menghuni Gua Anggas Wesi sejak sekitar 1983.
Menurut Kepala BKPH Jabung Tarmidi, Gua Anggas Wesi kini tampak kumuh karena digunakan sebagai tempat tinggal. sekaligus lokasi memelihara ayam oleh Mbah Darmaji.
Manusia gua yang hidup 60 tahun di pedalaman hutan Jombang Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim |
Warga juga menyebut bahwa selain Mbah Darmaji, terdapat sekitar enam orang lain yang sempat tinggal di sekitar gua. Keberadaan mereka membuat kondisi gua semakin memprihatinkan.
Bahkan, kehadiran mereka membuat para peziarah enggan datang ke lokasi tersebut. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang fungsi gua dan kelayakan gua sebagai tempat untuk menetap.
Sejak Kapan Manusia Menghuni Gua?
Dikutip dari detikEdu, manusia purba mulai menghuni gua-gua sejak masa Pleistosen. Mereka tinggal di kawasan dekat pantai, hutan, atau sungai yang menyediakan sumber makanan melimpah. Pada masa berburu dan meramu, mobilitas manusia sangat tinggi, sehingga gua sering berfungsi sebagai tempat singgah sementara.
Pilihan ini erat kaitannya dengan kebutuhan dasar manusia purba, perlindungan, makanan, dan air. Gua dianggap sebagai tempat aman dari hujan, angin, dan gangguan binatang buas. Selain itu, gua sering berada di dekat area berburu, sehingga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan hidup.
Tempat tinggal manusia gua di pedalaman hutan Jombang Foto: Enggran Eko Budianto |
Mengapa Manusia Purba Memilih Gua?
Manusia purba dikenal sering memilih gua sebagai tempat tinggalnya. Pilihan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan didorong oleh berbagai pertimbangan praktis dan strategis. Beberapa alasan utama manusia purba menjadikan gua sebagai hunian antara lain sebagai berikut.
- Dekat sumber makanan, seperti hutan dan sungai.
- Aman dari cuaca ekstrem, termasuk hujan lebat, angin kencang, dan panas terik.
- Terhindar dari hewan buas, karena struktur gua yang tertutup.
- Menjadi tempat singgah yang strategis selama berpindah-pindah.
Memasuki zaman Holosen, manusia mulai meninggalkan pola hidup nomaden dan menetap di permukiman tetap. Mereka membangun rumah dari bahan sederhana serta memilih lokasi yang dekat dengan sumber air dan lahan pertanian.
Fungsi Gua dalam Perspektif Arkeologi
Melansir jurnal penelitian dan arkeologi "Karakteristik dan Pemanfaatan Gua-Gua Hunian Prasejarah di Perbukitan Karst Kotabaru", gua tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal.
Manusia gua yang hidup 60 tahun di pedalaman hutan Jombang Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim |
Dalam kajian arkeologi, gua tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal semata. Para peneliti menemukan bahwa gua juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan penting lainnya. Beberapa di antaranya meliputi penguburan, baik secara individu maupun komunal, yang menunjukkan nilai ritual dan sosial bagi manusia purba.
Gua juga menjadi lokasi lokakarya pembuatan alat batu, di mana mereka mengasah keterampilan dan menciptakan peralatan sehari-hari. Tidak kalah penting, gua berperan sebagai gudang atau tempat penyimpanan, memungkinkan manusia purba menjaga persediaan makanan dan barang-barang penting lainnya dengan aman.
Penentuan gua sebagai hunian umumnya dipengaruhi akses sumber daya melimpah, keamanan, hingga ketersediaan material alam di sekitar gua. Temuan artefak batu dengan berbagai tahap produksi menunjukkan bahwa beberapa gua dijadikan bengkel pembuatan alat.
Fenomena "Manusia Gua" dari Perspektif Sosiologi
Fenomena Mbah Darmaji juga ditinjau dari sudut pandang sosiologi. Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Bagong Suyanto menjelaskan tindakan isolasi ekstrem seperti menetap di gua bukan bentuk penolakan sosial, melainkan pilihan individu mencari jalan keluar dari persoalan hidup yang tidak terselesaikan secara rasional.
"Seseorang yang merasa tindakan rasional tidak menyelesaikan masalah, maka jalan keluar yang dipilih biasanya tindakan irasional, termasuk yang berhubungan dengan hal-hal supranatural," dilansir dari detikjatim (10/11/2025).
Menurut Prof Bagong, perilaku ini dapat dibaca sebagai bentuk disintegrasi sosial, yaitu keterpisahan individu dari komunitas asalnya. Jarak fisik yang ekstrem, seperti tinggal jauh di pedalaman hutan, menciptakan jarak sosial yang semakin besar.
Ia menegaskan bahwa perilaku seperti ini tidak bisa dinilai dengan ukuran sosial pada umumnya. "Menilai Sudarmaji tidak bisa pakai ukuran kita. Menyendiri justru merupakan pilihan hidupnya." jelasnya.
Prof Bagong juga menyoroti munculnya individu lain yang mengikuti jejak Mbah Darmaji. Fenomena ini, katanya, harus diantisipasi agar tidak menimbulkan konflik sosial, misalnya melalui mediasi tokoh desa atau pendekatan adat.
Apakah Gua Cocok Dijadikan Tempat Tinggal Saat Ini?
Dari sudut pandang sejarah, gua pernah menjadi tempat tinggal ideal bagi manusia purba. Namun, konteks modern sangat berbeda. Gua tidak memenuhi standar hunian masa kini, baik dari sisi kebersihan, keamanan, sanitasi, maupun kesehatan fisik dan mental.
Tinggal di gua pada era modern biasanya bukan karena alasan ekologis seperti masa lalu, melainkan dipengaruhi faktor psikologis, sosial, atau spiritual. Seperti yang terjadi pada kasus Mbah Darmaji, keputusan tersebut lebih merupakan pilihan personal daripada strategi bertahan hidup.
Gua memiliki sejarah panjang sebagai hunian manusia purba, tetapi saat ini fungsinya lebih banyak berkaitan dengan penelitian, wisata, atau ritual. Fenomena individu yang memilih hidup di gua seperti Mbah Darmaji dapat dipahami melalui pendekatan sosial, psikologis, dan budaya.
(ihc/irb)














































