Tak banyak yang tahu, sebelum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, nama Bung Tomo sempat ditolak mentah-mentah oleh pemerintah. Penolakan itu bahkan membuat sang istri, Sulistina Sutomo, begitu marah hingga menyobek surat resmi dari Menteri Sosial saat itu.
Kisah mengejutkan ini diungkap langsung oleh Sulistina dalam buku autobiografinya berjudul "Bung Tomo Suamiku, Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu" yang terbit pada 1995.
Ia menuliskan dengan jujur bagaimana perjuangan agar sang suami, tokoh penting dalam Pertempuran 10 November 1945 Surabaya, diakui sebagai pahlawan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut sejumlah faktanya:
1. Usulan Gelar Pahlawan untuk Bung Tomo Ditolak Mentah-mentah
Sekitar dua tahun setelah Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981, DPRD Jawa Timur mengusulkan agar sang pejuang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Namun, usulan itu langsung ditolak oleh Menteri Sosial kala itu, Nani Soedarsono, dengan alasan yang membuat Sulistina geram.
"Namun Menteri Sosial Nani Soedarsono waktu itu mengirimkan surat kepada saya yang isinya menolak usulan tersebut dengan alasan Bung Tomo tidak menjadi pahlawan nasional karena beliau pahlawan lokal," terang Sulistina.
2. Surat Penolakan Disobek karena Emosi
Mengetahui surat resmi dari Menteri Sosial berisi penolakan terhadap usulan tersebut, Sulistina tak kuasa menahan emosi. Ia menyobek-nyobek surat itu, sesuatu yang kemudian ia sesali di kemudian hari.
"Terang saya, waktu itu saya sangat emosi dan marah sekali mendapatkan jawaban itu, aku seperti gelo, surat bersampul amplop cokelat itu aku sobek-sobek," ujar Sulistina.
3. Pertempuran Surabaya Bukan Peristiwa Lokal
Dalam buku yang sama, Sulistina menegaskan bahwa peristiwa 10 November 1945 di Surabaya tidak bisa disebut lokal. Menurutnya, pertempuran itu melibatkan pejuang dari berbagai daerah di Indonesia yang rela datang ke Surabaya demi melawan penjajah.
"Mosok sih, banyak orang Indonesia datang ke Surabaya. Ada orang Aceh, Sunda, orang Kalimantan, Bali, Sulawesi dan lain-lain datang ke sana ikut berjuang kok dikatakan lokal," tegas Sulistina.
4. Peristiwa 10 November Dianggap Hari Pahlawan Nasional, Kok Dibilang Lokal?
Sulistina heran mengapa perjuangan rakyat Surabaya disebut 'lokal', padahal peristiwa itu sudah lama diperingati sebagai Hari Pahlawan secara nasional. Bagi dia, penghargaan negara terhadap pertempuran Surabaya seharusnya otomatis mengangkat nama Bung Tomo.
"Dan peristiwa heroik itu pun telah lama diperingati sebagai hari nasional, Hari Pahlawan. Gitu kok dibilang lokal," cetus Sulistina.
5. Sulistina Akui Menyesal Telah Menyobek Surat Menteri Sosial
Setelah emosinya reda, Sulistina menyadari bahwa tindakannya menyobek surat resmi Menteri Sosial adalah kekeliruan besar. Ia mengaku seharusnya surat itu disimpan sebagai bukti sejarah perjuangan Bung Tomo.
"Aku menyadari betapa bodohnya aku. Dengan menyobek-nyobek surat dari menteri sosial itu berarti aku menampakkan kemarahan dan kebodohanku sendiri," ujarnya.
6. Akhirnya Bung Tomo Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Setelah berbagai desakan dan perjuangan panjang, pemerintah akhirnya menetapkan Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008. Gelar itu diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Sulistina Sutomo di Istana Negara pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2008.
"Mungkin waktu itu otakku terlalu panas dan aku memang kurang dewasa. Mestinya surat itu tetap kusimpan sebagai bukti kenangan," tandas Sulistina.
7. Sulistina Wafat dan Dimakamkan di Samping Bung Tomo
Sembilan tahun setelah gelar itu diberikan, Sulistina meninggal dunia pada 31 Agustus 2016. Ia kemudian dimakamkan di samping pusara Bung Tomo di TPU Ngagel Rejo, Surabaya, tempat beristirahat dua sosok yang bersama memperjuangkan kehormatan sejarah bangsa.
Simak Video "Video: Mengulik Sejarah dan Syarat Pemberian Gelar Pahlawan Nasional"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)












































