Fenomena keberadaan Sudarmaji, pria yang dikabarkan hidup menyendiri di dalam gua di pedalaman hutan Pegunungan Anjasmoro, Kabupaten Jombang, selama lebih dari empat dekade, menarik perhatian publik. Bagi sebagian orang, pilihan hidupnya dianggap aneh, bahkan misterius. Namun bagi sosiolog, fenomena ini merefleksikan sisi lain dari realitas sosial manusia modern.
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., menilai bahwa tindakan isolasi ekstrem yang dilakukan Sudarmaji bukanlah bentuk penolakan terhadap masyarakat, melainkan jalur alternatif untuk mencari jalan keluar dari permasalahan hidup yang tidak dapat diselesaikan secara rasional.
"Seseorang yang merasa tindakan rasional tidak menyelesaikan masalah, maka jalan keluar yang dipilih biasanya tindakan irasional, termasuk yang berhubungan dengan hal-hal supranatural," ujar Prof. Bagong, kepada detikJatim, Senin (10/11/2025).
"Ini bukan adaptasi, bukan pula penolakan. Melainkan pilihan," tegasnya.
Menurutnya, ketika individu merasa tidak lagi menemukan solusi di ranah sosial atau ekonomi, mereka cenderung mencari makna baru melalui jalur spiritual atau mistik. Dalam kasus Sudarmaji, gua menjadi simbol ruang transendensi tempat seseorang berusaha keluar dari tekanan dunia rasional.
Sudarmaji diketahui berasal dari Boyolali, Jawa Tengah. Bagi Prof. Bagong, perpindahannya ke Jombang dan hidup menyendiri di gua bisa dibaca sebagai bentuk disintegrasi sosial dari komunitas asalnya. Namun ia menekankan, perilaku semacam ini tidak bisa dinilai dengan ukuran sosial umum.
"Menilai Sudarmaji tidak bisa pakai ukuran kita. Menyendiri justru merupakan pilihan hidupnya," katanya.
Ia menegaskan, keputusan ekstrem seperti itu biasanya lahir dari dorongan personal, bukan tekanan sosial langsung. "Ini murni perilaku individu," lanjutnya.
Lokasi Gua Anggas Wesi yang berada jauh di pedalaman hutan membuat posisi sosial Sudarmaji semakin unik. Dalam pandangan Prof. Bagong, jarak fisik yang ekstrem ini turut menciptakan jarak sosial antara Sudarmaji dan masyarakat sekitar.
"Bagi orang awam, laku Sudarmaji bukan tidak mungkin malah dianggap sebagai tuah, sehingga dia justru disegani," jelasnya.
Namun, ia tak menutup kemungkinan munculnya persepsi sebaliknya. "Perilaku Sudarmaji mungkin dinilai aneh. Bagi warga yang tidak memahami konteksnya, kehadirannya bisa dianggap mengganggu," imbuhnya.
Warga sekitar menyebut bahwa kebutuhan hidup Sudarmaji sebagian diperoleh dari santunan masyarakat. Prof. Bagong menilai hal ini dapat memunculkan budaya material baru jika ketergantungan itu berlanjut.
"Kalau ia menjadi tergantung dan bahkan menikmati, maka nilai sakralitas lakunya menjadi pudar," ungkapnya.
Menurutnya, laku spiritual yang sejati biasanya tidak berorientasi pada bantuan material, melainkan pada pencarian makna batin.
Belakangan, muncul laporan adanya individu lain yang mengikuti jejak Sudarmaji dan turut tinggal di sekitar lokasi gua. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran warga setempat.
Prof. Bagong mengingatkan pentingnya langkah antisipasi sosial agar fenomena serupa tidak berkembang tanpa kendali.
"Memang harus diantisipasi kemungkinan penambahan manusia yang tinggal di gua. Perlu tetua desa berbicara," katanya.
Ia menilai, peran masyarakat lokal dan figur sosial menjadi penting sebagai mediator antara warga dan para penghuni gua agar tidak terjadi gesekan sosial.
Terkait kemungkinan intervensi dari pemerintah daerah, Prof. Bagong menekankan bahwa pendekatan sosial harus dilakukan secara etis dan tidak memaksa.
"Kalau pendekatan negara, sebaiknya melibatkan tetua adat," ujarnya.
Namun jika tidak ada tokoh adat, ia menilai proses observasi sosial perlu dilakukan secara perlahan agar motif spiritual atau kamuflase yang mungkin ada dapat terungkap tanpa melanggar hak individu.
"Kalau hanya kamuflase, pasti pelan-pelan akan terbongkar," tambahnya.
Dari kasus isolasi ekstrem Sudarmaji, Prof. Bagong menyimpulkan bahwa fenomena ini mencerminkan kebutuhan manusia akan ruang pribadi di tengah tekanan sosial modern yang serba terhubung.
"Orang yang memilih keluar dari lingkaran sosialnya memang tidak lazim. Hidup soliter biasanya tidak menyenangkan," tuturnya.
Meski demikian, fenomena ini sekaligus menjadi cermin bahwa tidak semua individu mampu beradaptasi dengan cepat terhadap kompleksitas sosial zaman sekarang sebagian memilih jalur sunyi sebagai ruang pelarian dan pencarian makna baru.
Simak Video "Video: Fenomena Manusia Gua Jombang, 60 Tahun Hidup di Pedalaman Hutan"
(auh/abq)