Jejak Heroik Mayor Hamid Rusdi, Pejuang Asal Malang Pencetus Bahasa Walikan

Jejak Heroik Mayor Hamid Rusdi, Pejuang Asal Malang Pencetus Bahasa Walikan

Muhammad Aminudin - detikJatim
Senin, 10 Nov 2025 17:00 WIB
Monumen Mayor Hamid Rusdi di Jalan Simpang Balapan, Kota Malang
Monumen Mayor Hamid Rusdi di Jalan Simpang Balapan, Kota Malang/Foto: Istimewa
Malang -

Siapa arek Malang yang tak mengenal Mayor Hamid Rusdi? Beberapa patungnya tersebar di taman-taman Kota Malang. Meskipun dia gugur pada tahun 1949. Namun, perjuangannya hingga kini masih dirasakan warga Malang.

Berdasarkan buku biografi Hamid Rusdi yang diterbitkan oleh Bintaldam Kodam V Brawijaya pada tahun 1989, diketahui beberapa fakta menarik mengenai sosok heroik Hamid Rusdi.

Menurut catatan, Hamid Rusdi lahir di Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang pada tahun 1911.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lahir dengan nama kecil Abdul Hamid, dari pasangan suami istri yang bernama Roesdi dan Mbok Teguh (ibunya). Orang tuanya dikenal merupakan tokoh terpandang kala itu.

Perjalanan kepahlawanan Hamid Rusdi dimulai pada masa pendudukan Jepang, di mana Hamid Rusdi sempat mengikuti pendidikan militer. Yakni pada Korps Perwira Pembela Tanah Air (Boei Giyugun Kembu Renseitai) di Bogor pada bulan Oktober 1943 hingga tamat pada April 1944.

ADVERTISEMENT

Pada Januari 1946 Hamid Rusdi menikahi keturunan Indo Belanda bernama Fichtor Schwarz atau Siti Fatimah. Sayangnya, dari perkawinan ini tidak membuahkan keturunan.

Sejarahwan Agung Buana mengatakan, Mayor Hamid Rusdi pernah bekerja menjadi sopir di Lapas Lowokwaru, Kota Malang, pada masa awal pendudukan Jepang.

Bekerjanya Hamid Rusdi sebagai sopir penjara dikarenakan dia punya keahlian sebagai montir dan pernah mengikuti sekolah Montir pada 1932-1933 di Malang.

"Mayor Hamid Rusdi pernah bekerja di Lapas Lowokwaru dan dilatih tentara Jepang saat itu," ungkap Agung Buana kepada detikJatim, Senin (10/11/2025).

Saat masih kanak-kanak hingga memasuki masa remaja, Hamid Rusdi juga aktif di dunia kepanduan yakni sebagai Pandu Ansor.

"Di situlah Mayor Hamid Rusdi memahami arti nasionalisme dan heroisme untuk menentang penjajah," ungkap Agung.

Selanjutnya, ketika Jepang membuka pendidikan militer bagi bumiputera pada tahun 1943, dia ikut mendaftar pula.

Selesai dari pendidikan perwira PETA di Bogor, Hamid Rusdi ditugaskan sebagai Komandan Kompi kesatuan Daidan 1 di Malang dengan pangkat Cudanco setara dengan Letnan Satu.

Sampai dengan kekalahan Jepang pada perang Asia Pasifik pada Agustus 1945, pemerintahan Jepang di Malang secara resmi baru menyerahkan senjata ke arek-arek Malang pada 3 Oktober 1945.

Saat itu, Hamid Rusdi telah berpangkat Mayor dengan jabatan Perwira Staf Divisi VII Untung Surapati turut melucuti senjata tentara Jepang di Malang.

"Pelucutan senjata tentara Jepang itu bukan perkara mudah. Tetapi Hamid Rusdi saat itu menjadi komandannya dengan gagah berani melucuti senjata tentara Jepang," katanya.

Perjuangan Hamid Rusdi sebagai perwira militer dipenuhi dengan banyaknya penugasan operasi. Pada saat Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947, pasukan Letkol Hamid Rusdi sempat bertempur di daerah Wonocolo, Sidoarjo, Porong hingga Pasuruan dan Malang sebagai pertahanan akhir.

Letkol Hamid Rusdi juga mengalami penurunan pangkat serentak bagi perwira angkatan perang Indonesia, sebagai implementasi program Rekonstruksi dan Rasionalisasi Tentara pada 4 Mei 1948.

Sehingga, Hamid Rusdi kembali menyandang pangkat Mayor. Dia juga menjadi komandan Komando Operasi Penumpasan PKI Muso wilayah Malang Selatan di Donomulyo pada bulan September sampai Nopember 1948.

Selanjutnya, ketika Agresi Militer Belanda II dengan sandi Operatie Kraai pada 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949.

Di Malang, Mayor Hamid Rusdi melakukan siasat perang gerilya untuk menduduki wilayah pendudukan Belanda di Malang Timur. Hal ini juga untuk menghindari kejaran mata-mata Belanda. Untuk mengkomunikasikan perintah operasi gerilya.

Mayor Hamid Rusdi menggunakan bahasa walikan (malangan) sebagai cara mengelabui musuh. Penyusupan juga dilakukan dengan cara berbaur seperti rakyat biasa untuk meneruskan pesan-pesan dengan bahasa walikan.

"Mayor Hamid Rusdi juga pencetus boso walikan saat perang gerilya melawan Belanda. Contohnya jika ingin bicara bagus sekali atau apik sekali diganti kipa ilakes," ungkap Agung Buana.

Namun, takdir berkata lain, pada 8 Maret 1949 dini hari, Mayor Hamid Rusdi digerebek tentara KNIL Belanda di sebuah rumah daerah Sekarputih, Wonokoyo, Kota Malang. Hamid Rusdi gugur bersama empat pejuang lainnya.

Untuk mengenang dan menghormati jasa kepahlawanannya maka Makam Hamid Roesdi yang ada di dusun Kalisari Wonokoyo dipindah ke TMP Untung Suropati Malang pada 15 Mei 1950 dengan penghormatan militer.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Tambah Tahu: Peristiwa Bersejarah di Balik Hari Pahlawan 10 November"
[Gambas:Video 20detik]
(mua/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads