Mengingat Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November

Mengingat Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November

Muhammad Faishal Haq - detikJatim
Sabtu, 08 Nov 2025 16:00 WIB
Ilustrasi Perang Surabaya 10 November 1945
Ilustrasi Perang 10 November 1945 Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono
Surabaya -

Hari Pahlawan diperingati setiap 10 November sebagai momen nasional untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa yang menjadi latar peringatan ini adalah Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, saat rakyat Surabaya melawan serangan pasukan Sekutu yang didukung NICA.

Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan kemudian dikukuhkan dalam keputusan pemerintah demi menjaga ingatan kolektif bangsa terhadap peristiwa heroik tersebut. Sejak itu, tanggal ini diperingati setiap tahun melalui upacara, ziarah ke makam pahlawan, serta berbagai kegiatan pendidikan dan refleksi nilai-nilai kepahlawanan.

Meski berakar pada peristiwa militer di Surabaya, makna Hari Pahlawan tidak sekadar ingatan pada pertempuran, tetapi juga penguatan nilai nasionalisme, semangat pengabdian, dan penghormatan terhadap mereka yang berkorban demi kemerdekaan dan kebaikan bersama. Simak sejarah perjuangan para pahlawan di Surabaya berikut ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penetapan Resmi Peringatan Hari Pahlawan

Penetapan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November tercantum dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Keputusan ini bertujuan menjaga agar peristiwa penting tersebut terus dikenang dalam kalender nasional dan pendidikan sejarah bangsa.

ADVERTISEMENT

Sejak ditetapkan, pemerintah dan lembaga terkait menyelenggarakan upacara resmi setiap 10 November, termasuk upacara nasional di Taman Makam Pahlawan, ziarah, tabur bunga, serta pengukuhan pahlawan nasional. Selain upacara kenegaraan, sekolah dan komunitas seringkali mengadakan program pendidikan, lomba, dan dialog sejarah untuk menumbuhkan pemahaman tentang nilai kepahlawanan.

Tahun ini, peringatan hari pahlawan jatuh pada hari Senin, 10 November 2025.

Latar Belakang Pertempuran 10 November

Dilansir dari berbagai sumber, Pertempuran Surabaya bermula dari ketegangan yang menumpuk pasca-proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kedatangan pasukan Sekutu di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), yang didominasi tentara Inggris, awalnya bertujuan melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Namun, situasi memanas dengan cepat karena kedatangan ini ternyata diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang memiliki agenda terselubung untuk mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda. Gesekan pun tak terhindarkan. Insiden paling ikonik adalah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Tekanan agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata yang telah mereka rampas dari Jepang pun memicu penolakan dan serangkaian pertempuran kecil yang sporadis.

Kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 30 Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah menjadi titik balik yang fatal. Mallaby, Komandan Brigade 49 Inggris, tewas dalam baku tembak hebat saat ia berusaha mendinginkan situasi yang kembali pecah, padahal sebelumnya telah tercapai kesepakatan gencatan senjata yang turut ditengahi oleh Presiden Sukarno. Insiden ini membuat pihak Sekutu, khususnya Mayor Jenderal Robert Mansergh yang menggantikan Mallaby, murka. Mereka menganggap kematian Mallaby sebagai pelanggaran berat terhadap gencatan senjata dan memutuskan untuk mengambil tindakan pembalasan militer skala penuh terhadap Surabaya.

Sebagai respons, pihak Inggris mengeluarkan ultimatum keras pada 9 November 1945. Ultimatum tersebut menuntut semua pimpinan dan rakyat Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan seluruh persenjataan tanpa syarat, serta bagi para penanggung jawab pembunuhan Mallaby untuk menyerahkan diri dengan tangan terangkat di atas kepala. Batas waktu yang diberikan adalah pukul 06.00 pagi keesokan harinya, tanggal 10 November. Ultimatum ini tidak dilihat sebagai tawaran damai, melainkan sebagai penghinaan dan ancaman untuk kembali dijajah.

Ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pejuang dan rakyat Surabaya. Tepat ketika batas waktu berakhir pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November, serangan besar-besaran Sekutu pun dilancarkan. Kota Surabaya digempur dari tiga penjuru: kapal-kapal perang menembakkan meriam dari laut, pesawat-pesawat tempur membombardir dari udara, dan tank-tank serta puluhan ribu infanteri (termasuk pasukan Gurkha yang berpengalaman) mulai bergerak maju dari daratan.

Dimulailah pertempuran kota (urban warfare) paling brutal dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Pertempuran ini melibatkan laskar-laskar rakyat, Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan seluruh elemen arek-arek Suroboyo yang mempertahankan kota "sentimeter demi sentimeter" dengan segala daya. Meskipun menghadapi superioritas persenjataan Sekutu yang mutlak (melawan tank dan pesawat dengan senapan rampasan, bambu runcing, dan keberanian nekat) perlawanan berlangsung selama tiga minggu. Surabaya hancur lebur dan puluhan ribu rakyat Indonesia gugur. Perlawanan heroik ini menjadi simbol keberanian dan pengorbanan yang membuktikan kepada dunia bahwa kemerdekaan Indonesia akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan, yang kemudian kita peringati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan.

Peran para Tokoh yang Membakar Semangat

Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam peristiwa 10 November adalah Bung Tomo (Sutomo). Melalui pidato-pidato yang disiarkan radio, Bung Tomo berhasil membakar semangat rakyat Surabaya dan menggaungkan slogan legendaris "Merdeka atau Mati!". Gaya orasinya yang berapi-api, penuh emosi, dan diselingi pekik takbir "Allahu Akbar!", terbukti sangat efektif membangkitkan semangat perlawanan. Ia tidak hanya berbicara kepada para pejuang atau laskar bersenjata, tetapi kepada seluruh arek-arek Suroboyo dari berbagai lapisan masyarakat.

Bung Tomo berhasil mengubah kemarahan dan ketakutan kolektif menjadi keberanian yang membara. Akibatnya, ketika batas waktu ultimatum terlewati, Surabaya tidak menyerah, kota itu justru berubah menjadi medan perang kota yang brutal, dimana rakyat sipil, pemuda, dan pejuang bahu-membahu melawan kekuatan militer Sekutu yang unggul secara teknologi.

Selain Bung Tomo, Raden Mas Tumenggung Suryo yang pada masa itu memimpin Jawa Timur juga turut berperan penting dalam pertempuran Surabaya. Gubernur Suryo, dalam kapasitasnya sebagai otoritas sipil tertinggi di Jawa Timur, tidak mengambil sikap pasif dalam menghadapi ultimatum Sekutu. Ia secara aktif menunjukkan kepemimpinannya dan memilih untuk berdiri di sisi rakyat, turut mengobarkan perlawanan. Pada momen kritis tanggal 9 November 1945, tepat satu hari sebelum meletusnya Pertempuran 10 November, ia menyampaikan sebuah orasi historis yang disiarkan secara luas.

Pidato tersebut memiliki dampak signifikan untuk membulatkan tekad arek-arek Suroboyo. Seruan sang gubernur berhasil mengkonsolidasikan perlawanan dan menyatukan suara rakyat. Alih-alih menyerah, pidato itu membangkitkan keberanian kolektif untuk menolak kembalinya kolonialisme dan berjuang mempertahankan martabat serta kemerdekaan yang baru saja diraih.

Peran tokoh-tokoh lainnya juga tidak kalah penting, seperti Mayjen Sungkono yang memimpin badan keamanan, serta tokoh-tokoh seperti KH Hasyim Asy'ari yang turut memberi dukungan moral. Perpaduan kepemimpinan formal dan gerakan rakyat mengokohkan perlawanan di Surabaya.

Catatan historis juga menunjukkan kontribusi pemuda dan arek-arek Suroboyo yang menggunakan taktik gerilya, pengetahuan medan lokal, dan semangat solidaritas untuk menahan gempuran. Kisah-kisah keberanian individu hingga kelompok kecil inilah yang membuat Pertempuran Surabaya dikenang bukan sekadar operasi militer, tetapi simbol nasional yang menginspirasi generasi selanjutnya.

Pertempuran 10 November telah membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada Belanda yang berniat kembali menjajah, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia bukanlah gertakan. Darah yang tumpah di Kota Pahlawan ini telah mengukuhkan kedaulatan bangsa dan menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan, menjadi pengingat untuk generasi penerus akan harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan.

Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(ihc/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads