Resolusi Jihad dan Peran Santri Jatim dalam Pertempuran 10 November

Mira Rachmalia - detikJatim
Rabu, 22 Okt 2025 03:00 WIB
Ilustrasi Perang 10 November. Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono
Surabaya -

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebagai penghormatan atas peran ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Peringatan ini berakar pada peristiwa bersejarah tahun 1945, ketika Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), mencetuskan Resolusi Jihad di Surabaya.

Seruan tersebut bukan sekadar ajakan untuk berperang, melainkan panggilan moral dan keagamaan agar umat Islam menjaga kemerdekaan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan.

Resolusi Jihad kemudian membangkitkan semangat rakyat, khususnya di Jawa Timur, untuk melawan tentara Sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dari semangat inilah lahir perlawanan besar yang berpuncak pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Peran Ulama dan Santri dalam Pertempuran Surabaya

Dalam peristiwa 10 November 1945, ulama dan santri memiliki peran yang sangat besar. Mereka tidak hanya memberikan dukungan spiritual, tetapi ikut terjun langsung ke medan perang.

Ribuan santri bergabung dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah, dua laskar Islam yang dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan semangat jihad dan seruan "Allahu Akbar", para pejuang Surabaya berjuang mati-matian melawan tentara NICA dan sekutu yang bersenjata lengkap.

Keberanian dan pengorbanan mereka menjadi simbol kekuatan iman dan nasionalisme. Dalam pertempuran itu, banyak santri gugur sebagai syuhada, tetapi semangat mereka tak pernah padam. Peran besar kalangan pesantren ini kemudian diabadikan melalui penetapan Hari Santri Nasional.

Ilustrasi Perang Surabaya 10 November 1945 Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono

Isi Lengkap Naskah Resolusi Jihad

Resolusi Jihad menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ditetapkan para ulama NU se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, seruan ini memuat fatwa jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan kembali. Berikut isi naskah Resolusi Jihad.

Bismillahirrahmanirrahim

Resolusi:

Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul) Perhimpunan Nahdlatoel Oelama se-Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.

Menimbang:
a. Bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
b. Bahwa sebagian besar warga negara Indonesia adalah umat Islam.

Mengingat:
Bahwa pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah melakukan berbagai kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum dan mengancam kedaulatan negara.

Memutuskan:

Memohon kepada Pemerintah Republik Indonesia agar mengambil sikap nyata terhadap segala usaha yang mengancam kemerdekaan dan agama, khususnya dari pihak Belanda dan sekutunya.

Memerintahkan untuk melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" demi tegaknya Negara Republik Indonesia dan agama Islam.

Surabaya, 22 Oktober 1945 - Nahdlatoel Oelama

Makna dan Dampak Resolusi Jihad

Resolusi Jihad menjadi pemantik semangat juang arek-arek Suroboyo dan seluruh rakyat Jawa Timur. Seruan jihad ini disebarkan melalui masjid dan musala menggunakan pengeras suara, menyeru umat Islam agar bangkit mempertahankan kemerdekaan.

Menurut filolog dan alumni Ma'had Aly Tebuireng Jombang Fathurrochman Karyadi, Resolusi Jihad lahir dari amanat KH Hasyim Asy'ari yang disampaikan dalam rapat besar di kantor PB Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jalan Bubutan, Surabaya.

Dalam rapat tersebut, KH Abdul Wahab Hasbullah memimpin pembahasan hingga lahirlah keputusan monumental berupa Resolusi Jihad. Inti dari resolusi itu adalah "berperang menolak dan melawan penjajah hukumnya fardlu 'ain".

Maka dari itu, ikut berperang menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari lokasi pertempuran. Bagi mereka yang berada di luar radius tersebut, kewajiban berubah menjadi fardlu kifayah, artinya cukup diwakili sebagian umat.

Resolusi Jihad Mengguncang Surabaya

Sejak Resolusi Jihad dikumandangkan, semangat perjuangan rakyat Surabaya semakin membara. Seruan ini memicu perang rakyat besar yang berlangsung antara 26 hingga 29 Oktober 1945 melawan Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal A W S Mallaby.

Pertempuran tersebut berakhir dengan tewasnya Mallaby pada 30 Oktober, yang kemudian membuat pihak sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerahkan senjatanya pada 9 November 1945.

Namun, rakyat menolak mentah-mentah. Bung Tomo, orator muda yang dikenal dengan pekikan "Allahu Akbar", meminta restu dan nasihat kepada KH Hasyim Asy'ari sebelum memimpin perlawanan besar pada 10 November 1945.

Pertempuran itu berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan pasukan sekutu, bukan tiga hari, melainkan hingga seratus hari, sebelum akhirnya para pejuang mundur ke luar kota.

Dampak Resolusi Jihad sangat besar bagi sejarah Indonesia. Tidak hanya membakar semangat arek-arek Suroboyo, tetapi menegaskan ulama dan santri adalah bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan. Resolusi ini meneguhkan hubungan antara agama dan nasionalisme, membela tanah air merupakan bagian ibadah.

Untuk mengenang jasa besar tersebut, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, dan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Dua tanggal bersejarah ini menjadi pengingat kemerdekaan tidak hanya lahir dari perjuangan senjata, tetapi dari keikhlasan ulama, santri, dan rakyat yang bersatu.



Simak Video "Hari Santri 2025, Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia"

(ihc/irb)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork