Akademisi Puji Langkah Prabowo-Gibran Wujudkan Kemandirian Energi

Muhammad Aminudin - detikJatim
Jumat, 17 Okt 2025 12:30 WIB
Diskusi publik 'Menakar Satu Tahun Kemandirian Energi: Janji dan Realisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran (Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim)
Malang -

Sejumlah akademisi di Malang, menilai arah positif langkah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam kemandirian energi nasional. Salah satunya dengan penggunaan etanol dalam Bahan Bakar Minyak (BBM).

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB) Prof Wardana mengungkapkan, pemerintah melalui Kementerian ESDM kini tengah menyiapkan mandatori E10 (etanol 10%) untuk bensin dan B50 (biodiesel 50%) untuk solar pada 2026.

Menurut Prof Wardana, langkah ini akan dapat mengurangi impor minyak hingga 10-20 persen. Karena sebagian besar bahan bakar yang diimpor digunakan untuk transportasi.

"Dengan menaikkan campuran biofuel, hampir semua BBM yang kita impor itu untuk kendaraan. Jadi kalau kita pakai E10 atau B50, impor kita bisa turun 10 sampai 20 persen," kata Prof Wardana dalam diskusi publik 'Menakar Satu Tahun Kemandirian Energi: Janji dan Realisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran', Kamis (16/10/2025).

Prof Wardana menyatakan, riset yang dilakukan Universitas Brawijaya (UB) penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) sudah dimulai sejak tahun 1980-an.

Saat itu pihaknya bahkan mencampur etanol sebanyak 20-30 persen ke dalam BBM. Sehingga, menurut dia, isu campuran etanol ke dalam BBM bukanlah hal baru dan sudah teruji keamanannya sejak lama.

"Kalau gasohol (gasoline alcohol) itu tahun 80-an, ya. Jadi waktu itu kita dapat dana besar dari BBBT, dari Pak Habibie, lewat BBBT juga. Tujuannya untuk menguji etanol 20 persen yang dicampur ke bensin," bebernya.

Prof Wardana juga mengungkapkan hasil riset terbaru di UB yang menunjukkan bahwa campuran etanol dalam bahan bakar justru meningkatkan efisiensi dan kualitas pembakaran mesin. Sebab campuran etanol meningkat kadar oktan dalam BBM.

"Etanol meningkatkan angka oktan BBM. Jadi harga jual bensin akan lebih murah. Selain secara kualitas baik," ujarnya.

Menurut Prof Wardana, kondisi sudah berubah dan menjadikan program biofuel kembali relevan.

"Idenya Pak Habibie waktu itu adalah mengganti bahan bakar dengan yang bersih, karena etanol itu bahan bakar yang bersih," bebernya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB, Andhyka Muttaqin menilai mandatori biofuel ini merupakan wujud nyata reformasi kebijakan energi yang lebih berorientasi lingkungan dan efisiensi.

Namun, ia mengingatkan pentingnya tahapan yang jelas agar kebijakan ini diterima masyarakat dan industri.

"Sebenarnya kayak kebijakan LPG 3 Kg itu kan bagus, cuma kan harusnya ada tahapan. Kalau kebijakan itu perlu ada tahapan, jadi biar masyarakat nggak kaget dan pemerintah nggak diserang," kata Andhyka.

Menurut Andhyka, dengan komunikasi kebijakan yang terukur, masyarakat bisa memahami bahwa program B50 dan E10 bukan sekadar pencampuran bahan bakar, tapi bagian dari strategi besar menekan impor, menghemat devisa, dan memperluas pasar energi terbarukan.

Sementara dari sisi ekonomi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Muhammad Sri Wahyudi Suliswanto menilai kebijakan biofuel ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk membangun rantai pasok energi yang mandiri

Ia menegaskan, keberhasilan swasembada energi sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghubungkan sektor hulu dan hilir secara sinergis.

"Kalau dilihat di kuartal pertama, memang ada tanda-tanda ke arah sana (kemandirian energi). Secara progres sudah mulai terlihat hasilnya, meskipun tentu masih butuh waktu. Kalau di tahun pertama sudah bisa menghasilkan demikian, itu artinya ada arah yang benar," kata Sri Wahyudi.

Ia juga menilai keterlibatan masyarakat dalam pengembangan energi berbasis pertania seperti produksi bioetanol dari singkong dan tebu akan membuka lapangan kerja baru di daerah.

"Ini bisa jadi instrumen pemerataan ekonomi sekaligus menekan ketergantungan pada impor migas," ujarnya.

Para akademisi sepakat bahwa arah kebijakan energi di bawah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kini mulai menapak jalur yang realistis dan ilmiah, dengan berbasis riset, bertahap dalam implementasi, dan berpihak pada kemandirian nasional.

Dengan sinergi antara riset kampus dan kebijakan pemerintah, Indonesia diyakini mampu membangun ekosistem bioenergi yang kuat, bersih, dan menguntungkan bagi rakyat.



Simak Video "Pertamina Dukung BBM Campur 10% Etanol"

(auh/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork