Hujan Meteor Draconid 2025, Catat Jam dan Cara Menyaksikan!

Hujan Meteor Draconid 2025, Catat Jam dan Cara Menyaksikan!

Irma Budiarti - detikJatim
Rabu, 08 Okt 2025 18:00 WIB
First place in the 2021 IAU OAE Astrophotography Contest, category Meteor showers: Geminid Meteor Shower from China, by Dai Jianfeng, China. A meteor shower occurs when the Earth in its orbit around the Sun, passes through a debris trail left previously by a comet on its approach around the Sun. As the Earth enters this debris (small sand grain sized), they enter the atmosphere at high speeds and on parallel trajectories, burning completely leaving beautiful tracks (streaks) in the sky. These streaks can appear and disappear in the blink of an eye, or last much longer. On rare occasions the debris originates from asteroids, as in the case of the Geminid meteor shower, shown in this image, picturing many streaks of debris captured in the sky of China in 2017. Due to relative motions and perspective, the shower appears to come from one single point, known as the radiant point, beautifully pictured in this image. This is similar to driving in a car on a rainy day without any wind, looking out the front window it seems that the rain is coming directly towards the window, when in fact the rain is falling vertically downwards. Link:  See image in Zenodo
ILUSTRASI HUJAN METEOR. Foto: Dai Jianfeng/IAU OAE/Jeff Dai/Wikimedia Commons/CC BY 4.0
Surabaya -

Setiap awal Oktober, langit malam di belahan utara Bumi mempersembahkan pertunjukan cahaya singkat namun memukau, yaitu hujan meteor Draconid. Tahun ini, fenomena langit tersebut diperkirakan mencapai puncaknya pada awal Oktober.

Dirangkum dari Earth Sky, peristiwa ini diperkirakan mencapai puncaknya pada awal Oktober, ketika Bumi melintasi jejak debu komet 21P/Giacobini-Zinner. Meski tak selalu menghasilkan kilatan spektakuler, Draconid tetap menarik untuk dinikmati, terutama karena bisa diamati sejak malam hari tanpa perlu teleskop.

Asal Usul Hujan Meteor Draconid

Dinamai dari rasi bintang Draco, yang berarti naga dalam bahasa Latin, hujan meteor ini tampak seolah keluar dari mulut naga di langit utara. Berbeda hujan meteor lain biasanya paling ramai menjelang fajar, Draconid justru paling indah diamati pada awal malam, sesaat setelah senja ketika Draco berada tinggi di cakrawala utara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas Draconid tergolong tidak menentu. Dalam tahun-tahun biasa, hanya segelintir meteor yang melintas setiap jam. Namun, pada waktu tertentu, Draconid bisa berubah menjadi "badai" meteor yang luar biasa. Sejarah mencatat ledakan aktivitas besar terjadi pada 1933 dan 1946, saat ribuan meteor tampak jatuh setiap jam.

Asal mula hujan meteor Draconid sendiri tak lepas dari kisah penemuan komet 21P/Giacobini-Zinner, sang "induk" yang menjadi sumber partikel debu pembentuk meteor ini. Komet tersebut pertama kali ditemukan astronom Prancis Michel Giacobini pada 20 Desember 1900 dari Observatorium Nice.

ADVERTISEMENT

Saat itu, Prancis Michel Giacobini melihat benda langit redup di dekat rasi bintang Aquarius menggunakan teleskop refraktor berdiameter 46 sentimeter, salah satu yang terbesar di masanya.

Beberapa tahun kemudian, pada 23 Oktober 1913, Ernst Zinner dari Jerman kembali menemukan komet yang sama ketika sedang mengamati bintang variabel. Itulah satu-satunya komet yang pernah ia temukan, dan sejak saat itu namanya diabadikan menjadi 21P/Giacobini-Zinner.

Komet ini tergolong periodik, dengan orbit mengelilingi Matahari setiap 6,6 tahun. Dalam setiap perlintasannya, komet meninggalkan jejak debu dan partikel halus di jalurnya. Ketika Bumi melintasi jejak tersebut, partikel-partikel kecil itu terbakar di atmosfer dan tampak sebagai kilatan cahaya di langit.

Hubungan antara komet ini dan hujan meteornya pertama kali dipelajari pada awal abad ke-20, ketika para astronom mulai menemukan keterkaitan erat antara komet dan hujan meteor di Bumi. Karena itu pula, Draconid kadang disebut dengan nama lain, Giacobinids, merujuk pada nama Giacobini sang penemu pertama.

Komet Giacobini-Zinner juga mencatat sejarah tersendiri di dunia antariksa. Pada September 1985, wahana International Cometary Explorer (ICE) berhasil mendekatinya, menjadikannya komet pertama yang pernah dikunjungi oleh pesawat luar angkasa manusia.

Jadwal Hujan Meteor Draconid

Untuk tahun ini, para astronom memperkirakan aktivitas hujan meteor Draconid berada pada tingkat sedang. Meski begitu, fenomena ini tetap menarik untuk disaksikan karena karakter meteornya yang bergerak lebih lambat dan mudah diikuti lintasannya. Berikut rincian waktu untuk

  • Periode Aktif: 6-10 Oktober 2025
  • Puncak Aktivitas: 19.00 UTC, 8 Oktober 2025 (9 Oktober 2025 sekitar pukul 02.00 WIB)
  • Waktu Terbaik untuk Mengamati: Setelah gelap pada malam 8 Oktober pukul 19.00 hingga 22.00 waktu setempat, hingga dini hari 9 Oktober 2025

Tahun ini, pengamatan mungkin sedikit menantang karena bulan hampir purnama, di mana fase purnama terjadi pada 3.48 UTC, 7 Oktober 2025, sehingga cahayanya dapat memudarkan meteor yang redup. Disarankan mencari lokasi dengan langit gelap dan menghalangi pandangan ke arah bulan agar pengamatan lebih optimal.

Dalam kondisi ideal tanpa cahaya bulan, pengamat bisa melihat hingga 10 meteor Draconid per jam di langit utara. Namun, jumlah sebenarnya bisa bervariasi tergantung tingkat kecerahan dan kondisi atmosfer.

Bagi pengamat langit di Indonesia, peluang menyaksikan Draconid memang tidak sebesar di kawasan lintang utara. Namun, beberapa meteor terang tetap mungkin terlihat dari wilayah khatulistiwa, terutama di daerah dengan langit cerah dan minim polusi cahaya.

Cara Menyaksikan Hujan Meteor Draconid

Tak perlu teleskop atau alat khusus untuk menikmati keindahan Draconid. Cukup dengan mata telanjang, kesabaran, dan langit malam yang gelap. Carilah area terbuka yang jauh dari polusi cahaya-seperti pantai, pegunungan, atau ladang yang luas.

Sebelum mulai mengamati, matikan lampu di sekitar dan biarkan mata beradaptasi dengan kegelapan selama sekitar 15-20 menit. Duduk atau berbaringlah dengan nyaman sambil menatap ke arah langit utara.

Siapa tahu, dalam keheningan malam, sebuah kilatan cahaya tiba-tiba melintas cepat-jejak halus dari butiran debu komet yang telah menempuh perjalanan ribuan tahun melintasi tata surya, hanya untuk sesaat memberi keajaiban bagi mata yang sabar menunggu.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads