Sejak azan Ashar pada Kamis sore kemarin berkumandang, golden time atau waktu emas penyelamatan korban reruntuhan selama 72 jam atau 3 hari telah habis. Hingga saat itu tidak ada lagi korban reruntuhan di Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo yang dievakuasi dalam keadaan hidup.
Syaiful Rosi Abdillah (13), santri ponpes AlKhoziny asal Bangkalan yang tinggal di Sumokali, Candi menjadi korban terakhir yang dievakuasi dalam keadaan hidup. Rosi dievakuasi pada Rabu (2/10) setelah evakuasi korban hidup lain, Taufan Saputra Dewa (17).
Akibat bangunan musala ambruk saat santri sedang Salat Ashar di tengah kegiatan ponpes pada Senin (29/9) sore sekitar pukul 15.00 WIB, Rosi yang sempat terjebak selama 2 malam di bawah reruntuhan mengalami luka parah pada kaki dan tangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Telapak kaki kanannya terpaksa diamputasi setelah sehari sebelumnya sudah diamputasi lengan kirinya. Kedua bagian tubuhnya itu terpaksa diamputasi karena keduanya telah mengalami nekrosis atau pembusukan.
"Untuk Abdul Rozi, tulangnya normal, tidak ada retakan. Tapi pembuluh darah terjepit, aliran nutrisi tidak bagus, dan sudah mengalami nekrosis (jaringan membusuk). Jadi tindakan amputasi memang harus dilakukan," kata Direktur RSUD Sidoarjo dr Antok Irawan, Kamis (2/10).
Hingga saat ini Syaiful masih menjalani perawatan secara intensif di RSUD Sidoarjo pasca-operasi amputasi. Dalam kondisi lemah, dia sempat bertanya kepada orang tuanya, "kapan saya punya kaki baru?"
"Alhamdulillah, dia sudah makan tadi. Tapi masih dirawat, masih lemas, semangatnya luar biasa. Anak ini kuat, 3 hari nggak makan, nggak minum, nggak tidur sama sekali," kata orang tuanya, Kamis (2/10/2025).
Remaja itu baru 4 bulan mondok di Ponpes Al Khoziny. Saat peristiwa mengerikan itu terjadi dia sedang bersama 6 orang temannya. Mereka tertimpa bangunan yang diduga ambruk karena struktur tidak kuat.
Rosi adalah korban hidup terakhir yang berhasil dievakuasi Tim SAR. Dia menjadi bagian dari 108 korban yang selamat dari peristiwa reruntuhan bangunan ponpes yang diduga terjadi akibat kegagalan konstruksi. Diduga masih ada 59 orang yang masih tertimbun reruntuhan.
"Sekarang yang masih hilang, yang ada datanya, yang ada fotonya itu sementara terdata 59 orang," kata Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto, Kamis (2/10) sore.
Suharyanto menegaskan bahwa kondisi 59 orang yang masih tertimbun itu sudah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Dia nyatakan itu berdasarkan hasil analisis situasi di lapangan.
"Itu secara ilmu pengetahuan itu tidak lagi ditemukan tanda-tanda kehidupan ya. Kami masih memberi waktu kepada tim gabungan dari mulai kemarin sore sampai tadi pagi," lanjutnya.
Pada Kamis siang, 5 buah alat berat crane dikerahkan untuk mengangkat puing reruntuhan. SAR Mission Coordinator (SMC) Laksamana Pertama TNI Yudhi Bramantyo menjelaskan penggunaan crane ini diakukan tim SAR BASARNAS usai melakukan 3 fase rangkaian asesmen mendeteksi adanya korban hidup.
Fase pertama sejak Rabu malam, tim mengecek tanda-tanda kehidupan di Site A1, A2, dan A3 dengan memanggil korban secara bergantian tapi tak ada jawaban. Fase kedua dengan search camera yang menjangkau celah hingga 5 meter. Ini pun tidak menemukan tanda-tanda kehidupan.
Pada fase ketiga, asesmen dilakukan dengan wall scan suffer 400 untuk mendeteksi keberadaan orang di balik reruntuhan dinding beton. Hasil pemeriksaan tidak menemukan adanya tanda napas maupun denyut nadi.
Tim penyelamatan BASARNAS pun masih berupaya memastikan dengan menggunakan multi search seismic scanner. Alat ini berfungsi untuk menangkap getaran dan suara kecil dari dalam reruntuhan demi mengidentifikasi kemungkinan adanya korban hidup.
Secara paralel di saat yang sama, tim BNPB juga telah mengerahkan drone thermal untuk memperluas pencarian tanda-tanda kehidupan di balik reruntuhan dari udara. Tapi karena hasilnya tetap nihil Tim SAR pun bersama pihak keluarga bersepakat memulai proses pemindahan material dengan crane.
(dpe/abq)