Sejarah Indonesia mencatat sebuah peristiwa kelam pada 30 September 1965, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga kini, dalang di balik peristiwa berdarah itu masih menjadi kontroversi dan menyisakan banyak tanda tanya.
Berbagai kesaksian dan versi cerita bermunculan, masing-masing menyebut pihak yang dianggap bertanggung jawab. Korban jiwa pun diperkirakan mencapai ratusan ribu, meski jumlah pastinya hingga kini masih menjadi perdebatan.
Salah satu catatan datang dari Fact Finding Commission (FFC) atau Komisi Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah pasca-G30S, yang menyebut korban bisa mencapai sekitar 780.000 orang. Lalu, bagaimana awal mula tragedi ini bisa terjadi? Berikut penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 30 September Memperingati Hari Apa? |
Awal Mula Konflik PKI
Dirangkum dari e-book Sejarah Kontroversial G 30 S/PKI yang ditulis Yudi Hartono dan Khoirul Huda, sebelum meletusnya peristiwa berdarah itu. Indonesia diwarnai konflik politik dan ekonomi pada tahun 1960, yang nantinya berpengaruh dalam pecahnya peristiwa G30S/PKI.
Saat itu, Presiden Soekarno berada di antara sayap kiri dan sayap kanan dalam masa pemerintahan. Sayap kiri berisi orang-orang dari PKI. Sementara sayap kanan diisi TNI. Meski sebenarnya, Presiden Soekarno lebih berdekatan dengan PKI.
Hal itu diketahui dari ideologi politik yang dianut Presiden Soekarno. Konsep ini dipopulerkan Presiden Soekarno pada 1956, ketika ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dinilai tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Dalam hal ini, PKI merasa semakin mendapat dukungan langsung dari presiden. Kekuatan PKI yang semakin kuat membuat Angkatan Darat, terutama para jenderal, merasa terancam dengan hubungan Soekarno dan PKI.
Hal tersebut memicu ketegangan di antara TNI AD dan PKI. Tak sampai di situ, beredarnya isu Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta kepada Soekarno menambah ketegangan politik. Dari sini, muncul satu gerakan bernama "Menyelamatkan Presiden".
Sedangkan, di sisi lain, PKI merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang kian memburuk. Konflik yang semakin panas dan keduanya merasa bersaing, memunculkan tragedi berdarah G30S/PKI.
Peristiwa Berdarah G30S/PKI
G30S/PKI pecah pada malam menjelang 1 Oktober 1965. Menurut versi resmi kala itu, pemimpin PKI Dipa Nusantara Aidit disebut memerintahkan pembentukan kelompok pemberontak yang melibatkan sebagian anggota pasukan Cakrabirawa dan kader PKI di bawah komando Letkol Untung.
Mereka bergerak menuju markas di Lubang Buaya Jakarta, sebelum kemudian dibagi dalam beberapa tim untuk menculik sejumlah jenderal. Aksi berlangsung dini hari sekitar pukul 03.15 WIB.
Sebanyak enam perwira tinggi TNI AD ditangkap, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen S Parman, Mayjen M T Haryono, Mayjen R Suprapto, Brigjen D I Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Mereka kemudian menjadi korban pembunuhan kejam.
Jasadnya lalu dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya. Satu jenderal, Jenderal A H Nasution, berhasil lolos dari penculikan. Namun, putrinya Ade Irma Suryani tewas akibat tembakan, sementara ajudannya juga menjadi korban.
Setelah itu, kelompok G30S menguasai Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober 1965, dan mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi Indonesia. Mereka mengeklaim aksi ini sebagai upaya menyelamatkan negara dari Dewan Jenderal yang disebut hendak merebut kekuasaan.
Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto segera mengambil alih kendali, menguasai kembali Jakarta, dan melumpuhkan pasukan G30S. Pada 3 Oktober 1965, jenazah para jenderal yang kini dikenang sebagai Pahlawan Revolusi ditemukan di sumur Lubang Buaya.
Sejak saat itu, versi resmi menyebut PKI sebagai dalang utama tragedi. Namun, hingga kini berbagai versi dan kajian sejarah lain masih memperdebatkan siapa sebenarnya pihak di balik peristiwa berdarah ini.
Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan luka sejarah, tetapi juga menjadi pengingat betapa rapuhnya persatuan ketika konflik politik, ideologi, dan kepentingan global saling bertabrakan. Hingga hari ini, tragedi 30 September 1965, tetap menjadi salah satu episode paling gelap dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(hil/irb)