Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mengkaji tentang wacana satu orang satu akun media sosial (medsos). menuai kritik dari pakar konunikasi.
Dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Titik Puji Rahayu mengungkapkan bahwa meski tujuan kebijakan itu untuk membendung dampak negatif dari peredaran akun anonim dan hoaks, hal itu bisa membatasi ruang penyebaran informasi bermanfaat.
"Kalau berpikir bahwa mengurangi akun akan mengurangi penyebaran hoaks itu seolah-olah cara berpikirnya satu akun hanya akan menyebarkan satu hoaks. Padahal satu akun bisa menyebarkan ratusan ribuan hoaks. Jadi ini yang jadi unit analisisnya itu akunnya apa jumlah hoaksnya," ujar Titik dihubungi detikJatim, Senin (22/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Titik menilai pendekatan ini pun belum menjangkau akar masalah. Menurutnya, pelaku utama penyebaran hoaks justru bukan akun manusia, melainkan bot yang tidak organik.
"Jadi yang banyak menyebarkan hoaks itu biasanya adalah bot, tapi kenapa yang dihukum justru manusia yang dia bukan merupakan bot atau automated social media in system? Sebuah aplikasi yang dirancang untuk berperilaku di media sosial seolah-olah dia manusia padahal software," jelasnya.
Baca juga: Begini Cara Mengenali Foto Asli atau AI |
Ia lalu menyoroti kenyataan bahwa banyak orang memiliki lebih dari satu akun media sosial dengan fungsi yang berbeda. Satu akun bisa digunakan untuk membangun citra profesional, sementara akun lainnya untuk interaksi pribadi.
"Maka mereka punya suatu akun yang memang mereka tujukan untuk merepresentasikan citra profesional mereka. Di sisi lain mereka juga punya akun yang sifatnya untuk pertemanan, di mana mereka lebih lugas menyampaikan siapa dirinya apa adanya," ungkapnya.
Titik juga menilai bahwa solusi paling mendasar bukan dengan membatasi jumlah akun, melainkan meningkatkan literasi digital masyarakat. Edukasi ke masyarakat, menurutnya masih sangat kurang.
"Edukasi kepada masyarakat untuk mereka tidak sembarangan menyebarkan informasi jika mereka tidak memahami informasi," katanya.
Terakhir, dirinya menyarankan pemerintah agar lebih fokus pada penguatan industri digital nasional ketimbang membuat kebijakan yang berpotensi mengekang.
"Saya rasa pemerintah lebih baik fokus membangkitkan industri media digital, sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Benefitnya bukan hanya benefit politik dalam artian berpendapat, berdemokrasi, tapi juga ada benefit ekonomi, benefit sosio-kultural," pungkasnya.
Sementara, dilansir dari detikInet, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah mengungkapkan tujuan di balik wacana penerapan satu orang hanya punya satu akun media sosial (medsos).
Usulan itu berasal dari DPR yang kemudian dibahas dengan pemerintah, termasuk dengan Komdigi sebagai lembaga terkait. Sekjen Kementerian Komdigi, Ismail mengatakan ia tidak mengikuti rapat pembahasan usulan tidak ada second account di medsos.
Namun berdasarkan informasi yang diketahuinya bahwa pembahasan itu dikuti oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Digital dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital.
"Jadi saya melihat filosofinya aja gitu bahwa karena saya melihat bahwa ini kan ikhtiar kita upaya kita untuk membuat ruang digital kita itu sehat, aman, produktif," ujar Ismail di acara Ngopi Komdigi, Jakarta, Jumat (19/9).
(dpe/abq)