Nama Kartika Sari Dewi Soekarno selalu menarik perhatian karena statusnya sebagai putri presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno. Meski lahir dari keluarga tokoh besar bangsa, Kartika memilih kehidupan yang lebih privat, berkarier internasional, aktif di dunia sosial, dan mendirikan yayasan pendidikan anak-anak.
Dilansir dari detikJatim, Kartika beberapa kali muncul dalam pemberitaan saat berziarah ke makam Bung Karno di Blitar bersama anaknya. Momen-momen itu kerap menjadi sorotan media karena jarangnya Kartika berkunjung ke makam sang kakek, sekaligus nuansa emosional yang menyertainya.
Selain itu, Kartika juga beberapa kali menyampaikan komentar publik mengenai kondisi bangsa yang menurutnya memprihatinkan. Lantas, siapa sebenarnya Kartika dan bagaimana hubungannya dengan Presiden pertama RI? Berikut profil Kartika Sari Dewi Soekarno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latar Belakang Keluarga
Kartika, yang bernama lengkap Karina Kartika Sari Dewi Soekarno, lahir di Tokyo, Jepang, pada 11 Maret 1967. Ia merupakan anak dari pernikahan Soekarno dengan Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto), wanita berdarah Jepang yang kemudian dikenal sebagai Dewi Soekarno.
Kartika menjadi salah satu keturunan langsung Bung Karno yang kerap menjadi sorotan media. Namun, hubungannya dengan sejarah keluarga dan publik cukup kompleks. Ia bahkan hanya sekali bertemu langsung dengan sang ayah saat masih bayi karena situasi politik kala itu membatasi kebebasan mobilitas keluarga.
Ia dibesarkan di Paris dan melanjutkan pendidikan di Swiss. Pengalaman itulah yang kemudian membentuk wawasan internasionalnya. Masa kecil dan pendidikannya di Eropa membuka jalan baginya untuk berkarier di berbagai kota besar dunia, sebelum akhirnya aktif dalam kegiatan sosial.
Jejak Karier
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Kartika sempat bekerja sebagai jurnalis televisi di Tokyo dan berkecimpung di biro periklanan di New York. Pengalaman lintas benua itu menjadi modal penting ketika ia mulai terjun ke dunia yayasan.
Kartika kemudian mendirikan Kartika Soekarno Foundation untuk Anak Indonesia (KSF), sebuah yayasan yang berfokus pada pendidikan dan pengembangan anak-anak di Indonesia. Langkah ini menegaskan pilihannya untuk berkecimpung dalam aksi sosial ketimbang menjalani hidup glamor semata.
Tentang KSF
Dilansir laman resminya, KSF lahir pada 1998 sebagai wujud kepedulian terhadap dampak krisis ekonomi Asia Tenggara. Bersama UNICEF dan CARE-USA, KSF menginisiasi kampanye "Mencegah Generasi yang Hilang" untuk memastikan anak-anak Indonesia tetap mendapat akses pendidikan di tengah situasi sulit.
Upaya ini berhasil menghimpun dana besar sehingga program dapat berjalan luas. Seiring waktu, KSF tak hanya mendukung program UNICEF, tetapi sejak 2004 mulai menjalankan inisiatif pendidikan mandiri di tiga kabupaten di nusantara.
Langkah ini kemudian diperluas dengan program kesehatan di tiga kabupaten lainnya. Seluruh kegiatan tersebut ditopang oleh Dewan Direksi yang bekerja secara sukarela tanpa imbalan, termasuk tokoh berpengalaman seperti Stephen Woodhouse, mantan Direktur Negara UNICEF untuk Indonesia.
Kehidupan Pribadi Kartika
Di balik aktivitasnya di dunia internasional dan sosial, kehidupan pribadi Kartika Sari Dewi Soekarno terbilang menarik perhatian. Pada tahun 2005, Kartika menikah dengan Frits Frederik Seegers, seorang pria asal Belanda.
Namun, kebahagiaan keluarga itu diwarnai duka ketika Frits Frederik Seegers meninggal dunia di Bali pada 2021. Sejak itu, Kartika semakin menjaga privasi keluarganya, meski tetap aktif mengelola yayasan dan sesekali kembali ke tanah air.
Kartika Sari Dewi Soekarno menampilkan wajah lain dari warisan Bung Karno. Lahir sebagai keturunan langsung Presiden pertama RI dari Ratna Sari Dewi, ia justru memilih jalur yang lebih senyap namun berdampak, berkarier internasional, mendirikan yayasan pendidikan anak-anak, dan aktif di bidang sosial.
Meski jarang mengumbar kehidupan pribadi, sosoknya tetap menjadi sorotan setiap kali kembali ke tanah air atau menyampaikan pandangan tentang kondisi bangsa. Ini menunjukkan bagaimana warisan seorang tokoh besar dapat diterjemahkan menjadi karya nyata dan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(auh/irb)