Toxic Relationship Bisa Picu KDRT, Begini Penjelasan Sosiolog

Toxic Relationship Bisa Picu KDRT, Begini Penjelasan Sosiolog

Mira Rachmalia - detikJatim
Kamis, 11 Sep 2025 20:30 WIB
Man and womans hands coming together facing the city night lights.
Ilustrasi. Simak Dampak Hubungan Tidak Sehat Foto: Getty Images/iStockphoto/kieferpix
Surabaya -

Hubungan asmara idealnya dibangun atas dasar saling menghargai, mendukung, dan memberikan rasa aman. Namun, tidak semua hubungan berjalan dengan sehat. Ada pula hubungan yang justru dipenuhi manipulasi, dominasi, dan perilaku merusak, yang dikenal dengan istilah toxic relationship. Dari sudut pandang patologi sosial, fenomena ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga persoalan sosial yang dapat berdampak luas bagi individu maupun komunitas.

Dalam wawancara bersama Luluk Dwi Kumalasari, Kepala Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), toxic relationship dipandang sebagai pola hubungan yang keluar dari batas kewajaran. Hubungan ini seringkali membuat salah satu atau kedua pihak merasa tidak dipahami, tertekan, terintimidasi, hingga kehilangan jati diri.

Definisi Toxic Relationship Menurut Patologi Sosial

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Luluk, toxic relationship adalah hubungan yang tidak baik, tidak harmonis, dan tidak sehat. Pola ini muncul ketika salah satu atau kedua belah pihak terjebak dalam perilaku yang merusak, sehingga memunculkan rasa menderita, rendah diri, hingga kehilangan kebebasan pribadi.

"Dalam hubungan yang toxic, seseorang bisa merasa tidak lagi menjadi dirinya sendiri," ungkap Luluk. Hal ini menjadikan toxic relationship bukan sekadar konflik biasa, melainkan kondisi berbahaya yang dapat merusak kesehatan mental dan sosial seseorang.

ADVERTISEMENT

Faktor Internal dan Eksternal Pemicu Toxic Relationship

Luluk menjelaskan, penyebab toxic relationship tidak berdiri tunggal, melainkan dipengaruhi faktor internal maupun eksternal.

  • Faktor internal: rasa insecure berlebihan, kurang percaya diri, trauma masa lalu, ketergantungan emosional, cinta yang obsesif, hingga ketidakdewasaan dalam mengelola emosi.
  • Faktor eksternal: komunikasi buruk, pola asuh otoriter, kurangnya dukungan keluarga, lingkungan pertemanan yang negatif, hingga budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat.

Budaya patriarki, menurut Luluk, sering menjadi pembenar perilaku dominasi laki-laki dalam hubungan, sehingga memperkuat ketidakadilan gender dan memperbesar potensi hubungan menjadi toksik.

Dampak Toxic Relationship bagi Kesehatan Mental dan Sosial

Toxic relationship tidak hanya menyakiti hati, tetapi juga dapat merusak kesehatan mental seseorang. Korban berisiko mengalami stres, depresi, kecemasan, bahkan penurunan kondisi fisik akibat lemahnya daya tahan tubuh.

Dari sisi sosial, orang yang terjebak dalam hubungan toksik seringkali menarik diri dari lingkungan. Mereka kehilangan ruang aman untuk berkembang, sulit membangun hubungan sehat, dan bahkan bisa terjerumus pada perilaku menyimpang.

"Dalam kondisi seperti ini, hubungan sudah kehilangan nilai kasih sayang dan justru dipenuhi manipulasi, dominasi, serta upaya menghancurkan," jelas Luluk. T

ak heran, toxic relationship juga berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun bentuk kekerasan lainnya.

Dampak Lebih Luas: Keluarga dan Komunitas

Fenomena toxic relationship tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang terlibat, tetapi juga berdampak pada keluarga dan komunitas sosial.

Dalam keluarga, pola hubungan toksik menciptakan interaksi negatif yang merusak keharmonisan. Anak-anak atau anggota keluarga lain bisa merasa tidak aman, tidak didukung, bahkan mengalami luka psikologis.

Dalam komunitas, toxic relationship membuat ruang sosial kehilangan nilai kebersamaan dan dukungan. Komunitas yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi lingkungan penuh konflik.

Pola Toxic Relationship pada Remaja, Dewasa, dan Pasangan Menikah

Konsep dasar toxic relationship sama pada setiap jenjang usia, namun tanda-tanda dan bentuk perilakunya bisa berbeda.

  • Remaja: biasanya muncul dalam bentuk posesif, manipulasi emosional, atau pertemanan yang tidak sehat.
  • Dewasa muda: lebih sering terkait ketergantungan emosional, rasa tidak percaya, dan pola komunikasi yang buruk.
  • Pasangan menikah: bisa berkembang menjadi dominasi, kontrol berlebihan, hingga KDRT.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa toxic relationship dapat hadir di berbagai fase kehidupan dengan wajah yang berbeda-beda.

Upaya Pencegahan Toxic Relationship

Menurut Luluk, pencegahan toxic relationship membutuhkan kesadaran individu sekaligus dukungan lingkungan sosial. Langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menyadari tanda-tanda hubungan toksik sejak dini.
  • Belajar memilih lingkungan pergaulan yang positif.
  • Membatasi ekspektasi berlebihan terhadap pasangan.
  • Fokus pada pengembangan diri.
  • Membatasi interaksi dengan orang toxic.
  • Konsultasi dengan ahli jika merasa terdampak berat.
  • Keluar dari hubungan toksik bila sudah membahayakan kesehatan mental dan fisik.

Pentingnya Peran Lingkungan

Lingkungan sosial memegang peranan penting dalam mencegah dan mengatasi toxic relationship. Dukungan keluarga, pertemanan yang sehat, dan komunitas yang suportif bisa menjadi support system yang menyelamatkan seseorang dari keterpurukan.

"Semua pihak punya kewajiban untuk menciptakan lingkungan positif yang aman dan nyaman. Ini adalah bagian dari tanggung jawab bersama untuk mencegah toxic relationship berkembang," tegas Luluk




(ihc/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads