Demonstrasi yang berujung kericuhan beberapa waktu lalu di Surabaya menyebabkan sejumlah pelajar dan anak di bawah umur ditangkap aparat kepolisian akibat berbuat anarkis. Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama menyayangkan ada pihak-pihak yang memprovokasi anak di bawah umur ikut dalam demonstrasi yang berujung anarkis.
Ning Lia, sapaan akrabnya, berharap ketegasan kepolisian mengungkap pelaku kejahatan kerusuhan.
"Kita bicara nama besar nama harum Indonesia, dan kita bicara keberlangsungan bangsa. Mental dan moral anak-anak adalah tanggung jawab kita semua sebagai orang tua. Maka, siapapun yang ingin meracuni pikiran anak-anak di bawah umur yang mestinya mereka harus belajar dan berkarya, itu harus ditindak tegas," kata Lia dalam keterangannya, Jumat (5/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lia juga menyoroti pentingnya peran guru atau tenaga pendidik sebagai orang tua kedua dalam memantau para pelajar agar tidak ikut kegiatan yang berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan.
"Situasi sosial yang terjadi saat ini, harus menjadi evaluasi bersama. Kenapa anak-anak mudah diracuni? Maka salah satu atensi bersama adalah peran guru atau tenaga pendidik. Mereka lah tumpuan kita semua para orang tua, yaitu sebagai orang tua kedua. Maka jangan sampai para tenaga pendidik kehilangan fungsi utama yaitu mendidik akibat beban administrasi berlebihan," imbuhnya.
Secara tegas, ia pun menyesalkan pola daring yang pernah terjadi saat pandemi COVID-19 yang cenderung membebankan guru pada pekerjaan memenuhi aspek administrasi.
"Kita flashback ya, pada era pandemi di mana pembelajaran berlangsung offline. Saat itu, harus diakui beban guru sangat tinggi. Mereka bertemu pada beban laporan mengajar yang sangat tinggi. Saya pun saat itu banyak menerima masukan curhatan dari teman-teman yang profesi guru, bahwa mereka harus lembur sampai malam hari hanya untuk mengerjakan laporan mengajar harian. Ini sangat disayangkan, dan saya sudah mencoba speak up melalui posisi aktivis waktu itu," jelasnya.
"Saya tidak bermaksud menyalahkan kebijakan yang sudah-sudah, namun jika kita berpikir secara holistik menyeluruh, maka kita berpikir, kenapa anak-anak di usia remaja maupun di awal dewasa, mudah terkena provokasi? Mudah diracuni hate speech? Apakah faktor digital begitu besar? Atau saat mereka menempuh pendidikan saat di bangku sekolah dasar maupun Sekolah Menengah Pertama, mereka menempuh pendidikan daring yang tidak efektif," tambahnya.
Di akhir, ia berharap pemerintah bisa belajar dari masa lalu dengan mengedepankan kebijakan yang produktif serta meninggalkan yang kontraproduktif.
"Setiap peristiwa memang mengandung hikmah. Dan saya berharap pada Bapak Presiden Prabowo Subianto melalui Kemendikdasmen agar semakin memberikan ruang luas bagi tenaga pendidik untuk fokus mengajar secara kualitatif, yaitu memiliki keluangan waktu membangun hubungan interpersonal dengan siswa. Bagaimana mereka menjadikan pembelajaran sekaligus sebagai penguatan moral dan modal sosial," jelasnya.
"Kita tahu bahwa Kemendikdasmen saat ini telah menyampaikan bahwa dilakukan relaksasi beban administrasi guru, dimana pelaporan kinerja guru kini hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun. Guru dituntut lebih fokus mendidik dan membimbing siswa serta aktif di masyarakat. Hal ini bagus dan patut diapresiasi. Namun saya juga berharap kesejahteraan guru, terutama mereka yang bernaung di bawah lembaga swasta maupun guru yang ditempatkan jauh dari domisili asal, mendapat atensi khusus," pungkasnya.
(faa/hil)