Perkembangan teknologi dan inovasi mendorong industri drone melaju pesat. Di sisi lain, kemajuan teknologi drone harus berhadapan dengan keterbukaan regulasi.
Salah satu faktor penting yang membedakan laju industri drone di tiap negara adalah soal transparansi regulasi. Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan Federasi Drone Indonesia (FDI) yang menilai Indonesia terkesan tertutup dibandingkan negara lain, seperti Amerika Serikat.
Pembina FDI Arya Dega menyampaikan, bahwa industri drone dunia tengah memasuki fase baru yang sangat menarik.
Baru-baru ini, Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat merilis proposal regulasi baru bernama FAA Part 108 pada bulan Agustus 2025.
Regulasi ini khusus mengatur tentang operasi drone Beyond Visual Line of Sight (BVLOS). Sebuah impian besar bagi pilot drone profesional, industri logistik, pertanian, hingga sektor energi.
"Namun, yang lebih menarik bukan hanya isi aturannya, melainkan proses transparansi yang dilakukan oleh FAA," ujar Arya Dega kepada detikJatim, Selasa (26/8/2025).
Dalam penggodokan regulasi, lanjut Arya Dega, FFA membuka partisipasi publik hingga Oktober 2025. Artinya, setiap stakeholder, mulai dari komunitas pilot drone, industri teknologi, universitas.
"Bahkan masyarakat umum mempunyai kesempatan untuk memberi masukan sebelum aturan tersebut difinalisasi," terangnya.
Hal berbeda jika memandang kondisi di Indonesia. Arya Dega menyebut, regulasi drone di tanah air cenderung dibuat tertutup, tanpa mekanisme konsultasi publik.
Arya Dega menjelaskan, FAA Part 108 adalah rancangan regulasi yang akan menjadi landasan hukum bagi operasi drone BVLOS di Amerika Serikat.
Selama ini, BVLOS di Amerika Serikat hanya bisa dilakukan melalui waiver atau izin khusus. Dengan hadirnya Part 108, BVLOS diharapkan menjadi lebih mainstream, legal, dan aman.
"Tujuan utama dari Part 108 adalah memberikan kepastian hukum bagi operator drone BVLOS.Menjamin keselamatan penerbangan (safety) bagi drone dan pesawat berawak," bebernya.
Arya Dega menambahkan, proses pembuatan Part 108 sangat partisipatif. FAA merilis dokumen NPRM (Notice of Proposed Rulemaking) pada 6 Agustus 2025.
Setelah itu, publik diberi waktu sekitar 60 hari (hingga awal Oktober 2025) untuk memberi komentar, kritik, dan saran. Masukan tersebut kemudian akan dianalisis dan bisa memengaruhi hasil akhir regulasi.
"Model partisipasi seperti ini bukan hal baru di Amerika. Hampir semua regulasi besar di sektor penerbangan selalu melalui mekanisme public consultation. Inilah yang membuat regulasi mereka lebih adaptif, relevan dengan kondisi lapangan, dan mendapat dukungan luas dari industri," imbuhnya.
Arya mengungkapkan, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal transparansi regulasi drone. Minimnya keterlibatan publik, terbatasnya akses informasi.
(auh/abq)