Pemprov Jatim melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menindaklanjuti Surat Edaran (SE) Bersama soal sound horeg dengan menekankan penggunaan alat ukur desibel yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kepala DLH Jatim, Nurkholis menyebut dengan alat ukur yang sesuai standar, maka akan menghasilkan angka desibel yang akurat.
"Karena kami yang membuat SE Bersama, kami harus menjadi contoh. Makanya dari rangkaian acara HUT ke-80 RI sejak Habib Syech sampai Pesta Rakyat NDX itu kami cek. Kami memakai sound level meter berstandar SNI dan berkalibrasi. Bukan pakai handphone, sehingga bisa dipertanggungjawabkan hasil desibelnya," kata Nurkholis, Minggu (24/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka membawa sound level meter berstandar SNI dan sudah di kalibrasi, cara menghitung dengan jarak 2 meter dari sumber suara, disamping itu dihitung setiap 10 detik selama 10 menit," lanjutnya.
Menurut Nurkholis, dengan adanya alat yang sesuai SNI, maka setiap kabupaten/kota bisa menindak jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha sound system. Rencananya, DLH Jatim akan membuat Surat Edaran (SE) untuk 38 kabupaten/kota.
Nurkholis menekankan, penggunaan alat pengukur pengeras suara ini sebagai bukti pemprov ingin menertibkan kebisingan yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Ia ingin, pemerintah daerah level kabupaten/kota hingga turunannya untuk segera menerapkan hal serupa.
"Setelah ini kami bersurat ke kabupaten/kota agar punya alat seperti itu, yang berstandar. Bukan yang biasa pakai handphone. Sehingga ketika ada perbedaan bisa dipertanggungjawabkan, sesuai atau tidak," tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, aturan soal sound horeg di Jawa Timur telah ditetapkan. Aturan itu ditetapkan dalam SE Bersama Nomor 300.1/ 6902/209.5/2025, Nomor SE/ 1/VIII/ 2025 dan Nomor SE/10/VIII/ 2025 tanggal 6 Agustus 2025 tentang penggunaan sound system/pengeras suara di wilayah Jawa Timur diterbitkan untuk menjadi pedoman bersama dengan tujuan agar penggunaan sound system di masyarakat tidak melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum.
SE ini ditandatangani oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto, dan Pangdam V Brawijaya Mayjend TNI Rudy Saladin.
Dalam SE Bersama ini, memuat aturan terkait batasan tingkat kebisingan penggunaan sound system/pengeras suara di lingkungan masyarakat, dimensi kendaraan yang mengangkut sound system lalu batasan waktu, tempat dan rute yang dilewati sound system dan yang terakhir terkait penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat.
Pertama, untuk tingkat kebisingan. Dalam SE Bersama memberikan batasan antara penggunaan sound system statis dan yang bergerak. Untuk yang statis misalnya pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, seni budaya pada ruang terbuka dan tertutup dibatasi maksimal intensitas suara yang dihasilkan adalah 120 dBA.
Sedangkan untuk penggunaan sound system untuk karnaval, unjuk rasa, penyampaikan pendapat di muka umum secara non statis atau berpindah tempat maka dibatasi maksimal adalah 85 dBA.
Selanjutnya, untuk kendaraan pengangkut sound system pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, seni budaya pada ruang terbuka baik statis maupun bergerak harus sesuai dengan Uji Kelayakan Kendaraan (Kir).
Tidak hanya itu, SE Bersama ini juga mengatur tentang batasan waktu penggunaan sound system non statis atau yang berpindah tempat. Mereka wajib mematikan pengeras suara saat melintasi tempat ibadah saat dilaksanakaan peribadatan, saat melintasi rumah sakit, ketika ada ambulan yang mengangkut orang sakit dan saat ada kegiatan pembelajaran di lingkungan pendidikan.
Selain itu, SE Bersama juga mengatur penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat. SE Bersama ini tegas melarang penggunaan sound system untuk kegiatan yang melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum. Termasuk melarang adanya minuman keras, narkotika, pornoaksi, pornografi dan membawa senjata tajam dan barang terlarang lainnya dalam kegiatan yang menggunakan sound system. Penggunaan sound system harus menjaga ketertiban, kerukunan, tidak menimbulkan konflik sosial dan tidak merusak lingkungan dan fasilitas umum.
Untuk itu, setiap kegiatan penggunaan sound system harus mengurus perizinan. Setiap penyelenggara kegiatan yang berpotensi mengganggu ketertiban umum yang termasuk penggunaan sound system wajib mendapatkan izin keramaian dari kepolisian. Perizinan yang dimaksud termasuk membuat surat pernyataan kesanggupan bertanggung jawab apabila ada korban jiwa, materiil, kerusakan fasum dan property masyarakat. Pernyataan ini wajib dibuat dan ditandatangani di atas materai.
Dan jika ada praktik penyalahgunaan narkotika, minuman keras, pornografi, pornoaksi, anarkisme, tawuran maupun aksi yang memicu konflik sosial, maka kegiatan akan dihentikan dan atau dilakukan Tindakan lain oleh kepolisian dan penyelenggara wajib bertanggung jawab sesuai aturan perundangan yang berlaku.
"Dalam aturan SE Bersama ini semua sangat detail dan rigid. Kami berharap acuan ini menjadi perhatian bersama. Kegiatan menggunakan pengeras suara tetap dibolehkan dengan penegakan batasan dan aturan yang telah dirumuskan bersama," kata Khofifah.
"Mari bersama mewujudkan Jawa Timur yang aman dan kondusif," pungkas Khofifah.
(auh/hil)