Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki sejarah panjang yang berawal dari masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa itu, radio digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda dan mengendalikan arus informasi.
Namun, dari alat kekuasaan inilah kemudian tumbuh semangat perlawanan, radio yang dulunya dimanfaatkan penjajah, justru berbalik menjadi corong perjuangan rakyat dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Sejarah Lahirnya RRI
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942, sistem pemerintahan militer Jepang segera diberlakukan di bekas wilayah Hindia Belanda. Segala bentuk komunikasi massa, termasuk radio, langsung diambil alih dan diarahkan sepenuhnya untuk kepentingan militer Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua stasiun radio swasta yang sebelumnya eksis di bawah pemerintahan Belanda ditutup dan digantikan sistem baru bernama Hoso Kanri Kyoku, dengan cabang-cabangnya yang disebut Hoso Kyoku atau Jawatan Radio, tersebar di berbagai kota Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Surabaya.
Selama enam bulan pertama pendudukan Jepang, Hoso Kyoku Jakarta masih menyiarkan program dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Arab. Namun kemudian, siaran berbahasa Belanda dihentikan sepenuhnya seiring larangan penggunaan bahasa asing di sekolah.
Sebaliknya, bahasa Indonesia justru dikembangkan dan dijadikan bahasa utama di sekolah dan kantor. Nama-nama tempat umum, toko, hingga jalan pun diganti dari nama-nama asing menjadi nama dalam bahasa Indonesia atau Jepang.
Di masa pendudukan Jepang, radio telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan. Setiap pagi, siaran "Radio Taiso" atau senam pagi massal diputar dari Jakarta dan diikuti serentak oleh pelajar, pegawai, hingga masyarakat umum.
Radio, dalam arti sebenarnya, telah dijadikan alat untuk memenangkan pikiran rakyat, jauh sebelum senjata menaklukkan wilayah. Namun, pada saat yang sama, sistem siaran Jepang yang sangat terstruktur ini justru menjadi fondasi bagi munculnya kekuatan radio rakyat Indonesia.
Ketika Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan Indonesia tidak bisa tersebar luas tanpa adanya upaya luar biasa dari para tokoh penyiaran. Hal tersebut dikarenakan, tentara Jepang saat itu masih menguasai studio dan gelombang siaran.
Mereka juga menyegel seluruh pesawat radio milik rakyat untuk mencegah berita kemerdekaan RI tersebar. Melalui perjuangan para penyiar seperti Sakti Alamsjah, Sam Amir, dan Darja, siaran proklamasi akhirnya berhasil disiarkan secara berulang-ulang.
Bahkan, kabar proklamasi bisa sampai ke Bandung karena adanya pengiriman telegram ke kantor berita Domei di sana. Siaran radio inilah yang membuat dunia luar, termasuk pihak Sekutu, menyadari bahwa Hindia Belanda sudah tidak ada lagi, dan berdiri kini adalah Republik Indonesia.
Tindakan ini membuat Jepang murka, dan mereka berupaya menghancurkan jejak-jejak siaran yang menyuarakan kemerdekaan. Alih-alih semangatnya surut, para pemuda menjadikan radio justru sebagai medium penting dalam menyebarkan semangat kemerdekaan secara luas ke seluruh negeri.
Pada 19 Agustus 1945, siaran Hoso Kyoku resmi dihentikan, membuat masyarakat sempat mengalami kekosongan informasi. Dalam situasi penuh ketidakpastian, para tokoh radio yang dulu terlibat dalam siaran Jepang menyadari bahwa radio adalah kebutuhan mendesak bagi Republik yang baru saja lahir.
Terlebih lagi, mengingat situasi politik yang sedang genting, karena saat itu tentara Sekutu dikabarkan akan mendarat di Jawa dan Sumatera, dengan membawa misi melucuti Jepang, sekaligus membuka jalan bagi Belanda kembali melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Dengan penuh kesadaran akan pentingnya komunikasi antara pemerintah dan rakyat, pada 11 September 1945, para tokoh radio dari delapan bekas stasiun Hoso Kyoku berkumpul di gedung bekas Raad van Indië di Pejambon, Jakarta.
Dalam pertemuan yang difasilitasi Pemerintah Republik Indonesia, mereka mengajukan gagasan untuk mendirikan radio nasional. Delegasi ini dipimpin Abdulrahman Saleh, sosok yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah penyiaran nasional.
Abdulrahman Saleh mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan kembali studio dan pemancar bekas milik Jepang sebagai alat operasional. Meski ada keberatan dari pihak pemerintah karena peralatan tersebut dianggap sebagai inventaris Sekutu, para delegasi tetap melanjutkan niat mereka, menyadari betul bahwa waktu tidak bisa menunggu dan risiko peperangan harus dihadapi.
Pada malam harinya, pukul 00.00, rapat lanjutan diadakan di rumah Adang Kadarusman. Dari pertemuan tersebut, lahirlah keputusan penting, yakni berdirinya Radio Republik Indonesia, dengan Abdulrahman Saleh sebagai pemimpinnya.
Nah, detikers, itulah sejarah lahirnya RRI yang bermula dari alat propaganda Jepang hingga berubah menjadi corong perjuangan bangsa. Peristiwa ini membuktikan, bahwa apa yang dulu pernah digunakan untuk mengendalikan, kini menjadi suara kebebasan dan harapan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(auh/irb)