Bendera One Piece marak dikibarkan jelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Fenomena itu memicu kontroversi di tengah masyarakat. Pengibaran bendera One Piece ini bahkan dinilai berpotensi memecah belah bangsa.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto melihat pengibaran bendera bergambar tengkorak itu sebagai bentuk ekspresi sosial yang sah secara hukum. Bukan sebagai tindakan makar.
Aan menyampaikan kemunculan bendera One Piece tak bisa dilepaskan dari situasi sosial dan kekecewaan masyarakat terhadap negara. Khususnya terkait kasus-kasus seperti pemblokiran rekening dan pengambilalihan aset warga oleh pemerintah, hingga amnesti dan abolisi untuk Hasto dan Tom Lembong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini adalah kritik sosial. Bukan simbol kemerdekaan baru, apalagi makar. Sepanjang tidak dimaksudkan sebagai bendera negara baru, maka tidak melanggar hukum," kata Aan kepada wartawan, Sabtu (2/8/2025).
Menurut Aan, tindakan masyarakat mengibarkan bendera One Piece adalah peringatan atas kondisi darurat representasi. Bahkan ia menyebut DPR RI seharusnya tidak memvonis rakyat yang mengibarkan bendera itu, tapi justru melakukan tabayun atau klarifikasi terhadap konstituen mereka.
"Kalau rakyat bergerak sendiri, artinya fungsi wakil rakyat tak berjalan. Ini bentuk aspirasi yang harusnya didalami dan disalurkan, bukan disalahkan," ungkapnya.
Aan juga menyampaikan bahwa fungsi DPR dalam fenomena ini tidak berjalan baik. Adanya bentuk kritikan dan aspirasi ini berarti ada yang salah dari kebijakan pemerintah. Hal ini, kata dia, sama halnya dengan kasus kasus yang lalu seperti peringatan darurat hingga Indonesia gelap.
"DPR kurang pas jika mengkritik aspirasi rakyatnya. Di sini terlihat fungsi wakil rakyat itu nggak jalan, akhirnya masyarakat mengekspresikan sendiri," katanya.
Bahkan, kata Aan, DPR sangat tidak etis jika menyalahkan bentuk kritik dan ekspresi masyarakat yang jika dilihat tidak ada yang melanggar undang-undang.
"Wakil rakyat memarahi rakyatnya sendiri, itu nggak etis," katanya.
Sementara Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar juga menegaskan tidak ada aturan hukum yang melarang pengibaran bendera apa pun. Kecuali memang ada larangan resmi dari pengadilan atau pemerintah. Menurut Abdul, pengibaran bendera One Piece tak lain sebagai wujud kebebasan berekspresi.
"Ini bagian dari kebebasan berekspresi. Mau pasang bendera motor, bendera kematian, silakan saja selama tidak melanggar hukum," katanya terpisah.
"Yang dilarang itu misalnya simbol-simbol yang mengandung ujaran kebencian, SARA atau palu arit (mengarah ke komunis)," sambungnya.
Fickar juga mengkritik keras sikap DPR yang mengecam pengibaran bendera One Piece. Ia menilai, pernyataan semacam itu menunjukkan ketidaktahuan terhadap hukum dan minimnya empati terhadap keresahan masyarakat.
"DPR itu wakil rakyat, bukan alat negara yang bertugas menghukum rakyat. Kalau ada rakyat yang memasang simbol tertentu, pendekatannya bukan dengan memusuhi atau melarang, tapi menasihati dan menyerap aspirasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta masyarakat tidak perlu membenturkan Bendera Merah Putih sebagai lambang negara dengan Bendera One Piece yang diambil dari manga.
"Sejak awal saya sudah sampaikan tidak perlu dibenturkan. Ada upaya pecah belah, karena banyak generasi tua yang tidak tahu-menahu tentang One Piece," kata Dasco dalam keterangannya, Jumat (1/8).
Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu juga meminta agar tidak ada upaya mendiskreditkan penggemar One Piece dengan narasi bahwa bendera tersebut merupakan simbol makar atau bentuk upaya menjatuhkan pemerintah. Sebab, hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
"Dianggap bendera tengkorak itu bendera separatis, padahal itu manga yang sudah puluhan tahun tumbuh sama generasi muda kita. Ini salah satu staf saya anaknya sudah tiga, dia juga bilang dirinya Nakama," ucap Dasco.
(dpe/abq)