Senin, 14 Desember 1987, rombongan santri dan ustaz Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah menggelar acara kemah di kaki Gunung Lawu. Namun tak ada yang menyangka acara liburan akhir tahun itu berubah jadi tragedi.
Kisah tragis itu kemudian diabadikan dalam buku berjudul 'Kisah Nyata Musibah Gunung Lawu' yang diterbitkan Ponpes Al Mukmin. Dalam buku itu dijelaskan kegiatan bertujuan mengenalkan santri dengan alam yang merupakan ciptaan Allah SWT.
Rombongan santri dan ustaz Ngruki kala itu sempat bermalam di tenda pada hari pertama di bumi perkemahan Mojosemi, Magetan, Jawa Timur. Bekal mereka lengkap, mulai dari peralatan berkemah hingga logistik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada hari kedua Selasa, 15 Desember 1987, ustaz dan pembimbing membagi sebanyak 119 santri menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok didampingi 1 ustaz dan 1 pembimbing. Mereka kemudian diberi tugas untuk berjalan ke arah puncak Gunung Lawu via Singolangu.
Salah seorang ustaz bernama Jamaluddin memperingatkan agar seluruh peserta harus kembali lagi ke tenda pukul 15.00 WIB. Tidak ada kewajiban para peserta untuk mencapai puncak.
"Karena kegiatan itu hanya bersifat pengenalan. Maka sekali lagi ia benar-benar tekankan kepada seluruh rombongan sampai di manapun di tengah perjalanan, mereka harus balik arah kembali ke perkemahan," demikian tertulis dalam buku tersebut.
Petaka dimulai dari sini, saat magrib tiba, kelompok I, IV dan V sudah tiba di perkemahan Mojosemi. Sedangkan kelompok II dan III tidak juga kembali hingga Selasa malam.
Salah seorang saksi, Slamet Jafar, menceritakan dirinya termasuk dalam rombongan kelompok II. Pria asal Pemalang ini mengisahkan rombongannya tersesat hingga harus bermalam di alam liar tanpa perlengkapan yang cukup.
"Malam itu cuaca buruk, karena memang bulan Desember, hujan setiap hari. Kebetulan ada tempat yang agak menjorok seperti gua, sehingga bisa agak berteduh dari hujan," kata Jafar saat dijumpai di Ponpes Al Mukmin Ngruki seperti yang dilansir dari detikJateng.
Jafar kala itu merupakan siswa kelas 1 SMA yang baru beberapa bulan sekolah di Ponpes Al Mukmin. Sebelumnya, Jafar sempat mengenyam pendidikan keperawatan di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Muhammadiyah di Pekalongan.
Bekal ilmu keperawatan yang dia miliki dapat dimanfaatkan untuk membantu anggota kelompok II yang sakit. Ada anggota yang kram, kejang-kejang meskipun tak parah, sampai menggigil kedinginan.
Rabu, 16 Desember 1987 pagi, Jafar masih ingat betul dia dan kawan-kawan memiliki semangat baru untuk menyusuri jalan pulang. Akhirnya mereka menemukan pipa air dan menyusurinya hingga sampailah di perkemahan sekitar pukul 10.00 WIB.
"Sebetulnya mereka yang bisa kembali ke perkemahan itu hanya beruntung saja bisa menemukan jalan. Karena kita memang nggak punya persiapan untuk itu," ujar Jafar.
Namun nasib baik Jafar ternyata tak menaungi kawan-kawannya yang lain. Sebab sebanyak 15 temannya dan seorang ustaz ditemukan meninggal dunia.
Jafar mengaku tidak mengetahui secara pasti penyebab kematian para korban. Menurutnya mereka diduga meninggal dunia karena kedinginan ditambah dengan cuaca buruk saat itu.
Sembilan jenazah kemudian dimakamkan di dekat Ponpes Al Mukmin Ngruki. Sedangkan enam jenazah lainnya dibawa oleh keluarga untuk dimakamkan di daerah asalnya masing-masing.
Salah satunya jenazah yakni Amin Jabir dari Lamongan, yang masih adan hubungan keluarga dari Amrozi, Muklas dan Ali Imron pelaku Bom Bali I. Seorang korban terakhir dalam kondisi meninggal ditemukan pada 21 Desember 1987.
Jatim Flashback adalah rubrik spesial detikJatim yang mengulas peristiwa-peristiwa di Jawa Timur serta menjadi perhatian besar pada masa lalu. Jatim Flashback tayang setiap hari Sabtu. Ingin mencari artikel-artikel lain di rubrik Jatim Flashback? Klik di sini.
(dpe/abq)