Setelah sempat lesu akibat pandemi Covid-19, permintaan tas golf produksi perajin asal Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur mulai menunjukkan tren peningkatan sejak awal 2024 hingga pertengahan 2025.
Salah satu produsen tas golf, Sujadi, warga Desa Kalitengah, Tanggulangin, mengungkapkan bahwa pesanan tas golf, terutama jenis Tour Bag, kembali berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara.
"Sejak pandemi, produksi sempat terhenti bahkan sampai satu bulan tidak ada permintaan sama sekali. Tapi mulai tahun ini sudah mulai naik lagi, meski perlahan," ujar Sujadi saat ditemui detikJatim Kamis (17/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kenaikan permintaan ini dipengaruhi oleh mulai pulihnya kondisi ekonomi serta meningkatnya aktivitas komunitas golfer di berbagai daerah.
"Kalau tahun-tahun kemarin (permintaan) melandai turun, tahun ini sudah mulai melandai naik. Permintaan paling banyak dari Jakarta dan Surabaya. Kota lain seperti Semarang, Bandung, bahkan Papua juga mulai ada lagi," tambahnya.
Sujadi mengatakan, dalam sebulan ia bisa memproduksi lebih dari 10 tas golf, tergantung jumlah pesanan. Proses produksi satu tas memerlukan waktu 2 hingga 3 hari, terutama jika menggunakan teknik bordir yang rumit.
Tidak hanya melayani pasar domestik, tas golf produksi Sujadi juga diminati oleh konsumen dari negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Namun, biaya pengiriman menjadi kendala utama ekspor produk ini.
"Permintaan dari Malaysia cukup banyak, tapi ongkos kirimnya hampir sama dengan harga tasnya. Jadi pelanggan dari sana biasanya datang langsung ke sini sekalian main golf atau ikut gathering di Surabaya," katanya.
Tas golf produksi Sujadi dibanderol mulai dari Rp 2,7 juta hingga Rp 2,8 juta untuk jenis semi-kulit, sedangkan untuk tas full kulit bisa mencapai Rp 3,8 juta per unit. Bahan baku sebagian besar berasal dari Tanggulangin dan Surabaya, namun untuk tas dengan kulit buaya, Sujadi biasanya mendapatkan bahan dari Merauke, Papua.
"Pernah ada pesanan dari Papua juga. Harganya bisa sampai Rp 20 juta karena pakai kulit buaya asli dari sana, dan pembelinya bawa sendiri bahannya," ungkapnya.
Meski masih menghadapi berbagai tantangan seperti biaya logistik dan keterbatasan produksi, Sujadi berharap tren positif ini terus berlanjut dan produk lokal dari Tanggulangin semakin dikenal luas.
"Kita tetap semangat dan berinovasi, semoga tahun ini permintaan makin stabil dan meningkat," tutupnya.
(auh/abq)