Para peziarah itu datang dari berbagai daerah Mataraman, Jawa Timur untuk berziarah ke Eyang Brotonegoro yang merupakan Bupati Pertama Ponorogo. Acara tahunan ini menjadi bagian dari rangkaian pekan Muharram 1447 Hijriah.
Bagi mereka yang berziarah, kegiatan ini bagian dari bentuk syukur dan cara meneladani sikap andap ashor (rendah hati) Tumenggung Brotonegoro, sekaligus berdoa bersama kepada Allah SWT untuk kebaikan diri, keluarga, dan lingkungan.
Pada Minggu pagi sekitar pukul 06.00 WIB, ribuan jemaah itu berkumpul di Musala Sewulan, Dagangan, Kabupaten Madiun sebelum berangkat bersama dikawal banser dan aparat keamanan setempat.
Ziarah itu turun-temurun sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur ini sudah berjalan sejak 2000-an, dirintis oleh Almarhum KH Makruf Nawawi. Hingga Kiai Makruf meninggal kegiatan itu masih lestari.
Selain bentuk hormat kepada leluhur dan sejarah, ziarah ini juga melatih kesabaran dalam berkehidupan. Sebab, makam Eyang Brotonegoro berada di puncak gunung. Meski tidak begitu tinggi tapi cukup menguras energi bagi para pemula pendakian.
"Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, berasal dari dawuh almarhum KH Makruf Nawawi yang meneruskan pesan ibundanya untuk selalu sowan ke Nglarangan," kata Gus Afif Nizam, putra KH Makruf Nawawi yang sekarang memimpin jemaah Sewulan.
"Kini masih lestari menjadi tradisi tahunan yang penuh makna," lanjutnya.
Jalur menuju puncak Gunung Nglarangan memang tidak mudah dilalui. Para peziarah harus melalui 3 tanjakan terjal, ditambah kondisi tanah kering dan pepohonan jati meranggas karena musim kemarau. Namun, medan berat tak menyurutkan semangat mereka.
"Setiap Muharram saya selalu ikut. Jalurnya berat, tapi inilah olahraga rohani sekaligus jasmani," kata Abdillah, salah satu peziarah. Ia mengaku terinspirasi oleh figur Tumenggung Broto Negoro yang dianggap sebagai teladan pemimpin yang sederhana.
Beberapa jemaah bahkan mengaku merasakan tubuh dan pikirannya enteng setelah turun dari gunung. Maka tak heran banyak juga lansia yang ikut menapaki gunung itu hingga puncak.
"Memang berat kalau di awal naik, setelah turun itu enteng. Alhamdulillah saya sampai puncak," ujar Halimah (60) salah seorang jemaah asal Madiun.
Lebih dari sekadar ritual, ziarah di Gunung Nglarangan ini menjadi momen kebersamaan dan simbol kearifan lokal masyarakat Jawa Timur. Di tengah derasnya arus modernitas, kegiatan ini menunjukkan nilai religi dan sejarah tetap hidup di tengah masyarakat.
"Ziarah ini bukan hanya soal menyambut kalender baru, tapi soal memperbarui niat, memperkuat iman, dan menyambung silaturahmi antargenerasi," pungkas Gus Afif.
Selain itu, kata dia, banyak nilai filosofis yang bisa dipetik dari ziarah ini. Dari nilai sejarah jemaah bisa mempelajari kisah Adipati Brotonegoro dalam melawan penjajah Belanda. Sedangkan dalam kearifan kepemimpinan, Bupati Pertama Ponorogo itu mencontohkan kesetaraan manusia sebagai pejabat yang rendah hati dan arif.
"Menurut cerita, Eyang Brotonegoro itu sosok yang sangat egaliter, merakyat. Bahkan, beliau memposisikan sejajar dengan pelayannya sendiri, tak jarang menggantikan pelayannya mencari rumput untuk hewan ternak atau kudanya," katanya.
(dpe/hil)