Hubungan Bupati Sidoarjo Subandi dan wakilnya Mimik Idayana dikabarkan sedang retak. Pengamat Politik Unair, Fahrul Muzaqqi menyebutkan perlunya saling pengertian antara bupati dengan wakil bupati.
"Saya rasa ketidakharmonisan sangat disayangkan. Hal semacam itu tidak perlu terjadi. Kan sejak awal sudah ada soal proyeksi kepala daerah dan wakilnya, bahkan itu sudah harus tuntas sebelum mendaftar sebagai calon saat Pilkada," kata Fahrul dikonfirmasi detikJatim, Selasa (24/6/2025).
"Jadi sudah ada kesepahaman soal peran, wilayah kerja, dan yang paling penting itu mengerti karakter masing-masing," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahrul menyayangkan retaknya hubungan kepala daerah dengan wakilnya ini tidak hanya terjadi di Sidoarjo tetapi juga di sejumlah wilayah lain di Jawa Timur. Menurutnya, rakyat membutuhkan pasangan kepala daerah bekerja optimal.
"Ketika sudah menjabat saya rasa tinggal saling mengisi, memahami, dan melengkapi. Ketika ada ketidakharmonisan justru bisa kontra produktif dan malah disayangkan. Sebisa mungkin kedua belah pihak harus rela dan saling memahami," jelasnya.
Fahrul juga menyebut peran parpol pengusung diperlukan untuk menyatukan kembali kepala daerah yang diusung dan terpilih.
"Parpol pendukung perlu membuat jembatan komunikasi ketika 2 belah pihak deadlock atau sulit dicarikan titik temu. Yang krusial ya harus saling mengerti satu sama lain soal peran dan wilayahnya masing-masing," tambahnya.
Sementara, Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam menyebut konflik kepala daerah dan wakilnya tidak perlu terjadi sebab masyarakat yang akan menjadi korbannya.
"Bulan madu kepala daerah dan wakil seringkali selesai hanya dalam 3 bulan 100 hari kerja. Waktu yang singkat padahal dalam kampanye dan pencalonan semua berkomitmen ingin tuntas dalam 1 periode masa jabatan," jelasnya.
"Menurut saya hal itu tidak boleh terjadi. Masing-masing pihak harus bisa memahami tupoksi, tata kerja dan pembagian job, termasuk membangun intens berkomunikasi agar bisa membangun frekuensi yang positif. Patut diingat bahwa keretakan akan mudah memengaruhi kinerja dan membuat koordinasi antar bagian menjadi penuh curiga dan kerap memunculkan intrik negatif yang berujung tidak lagi bisa saling memercayai," tambahnya.
Surokim mengingatkan dampak dari ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Birokrasi bisa tidak berjalan dengan baik.
"Keretakan itu dampaknya kompleks dan sering berpengaruh terhadap ritme dan kinerja kepala daerah. Energinya banyak tersedot ke situ dan eksesnya, sering berakibat terjadinya kubu-kubuan di Pemda. Itu tak terhindarkan," ungkapnya.
"Friksi dan konflik potensi menjadi lebih kuat dan cenderung tidak produktif dan bisa mengganggu proses konsolidasi internal. Menurut saya selain tidak elok dalam pandangan publik juga akan menganggu konsolidasi internal dan juga sulit untuk bisa ekspansif," tandasnya.
(dpe/abq)