SMA Katolik Frateran buka suara usai insiden tewasnya siswa kelas IX SMP Katolik Angelus Custos Surabaya berinisial SSH (15) yang diduga tersengat listrik di rooftop pada Jumat (28/3). Pihaknya membeberkan kronologi peristiwa itu.
Sekadar diketahui, baik SMP Katolik Angelus Custos Surabaya maupun SMA Katolik Frateran berada di bawah naungan satu yayasan yang sama.Yayasan yang menaungi kedua sekolah tersebut adalah Yayasan Mardiwiyata.
Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni (IKA) Frateran sekaligus ketua tim advokasi perkaran itu, Tjandra Srijaja mengungkapkan bahwa peristiwa itu dimulai saat korban bersama lima temannya hendak melakukan latihan ujian praktik Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di kawasan sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tanggal 24 Maret malam dia minta izin (ke guru SMP Katolik Angelus Custos) setelah pulang sekolah dia akan latihan uprak di rumahnya Chelsea (rekan korban). Kemudian dijawab guru 'kalau bisa besok saja tanggal 25 di sekolah'," ungkap Tjandra, Sabtu (10/5/2025).
Korban sempat mengatakan kepada guru itu bahwa ada satu hal yang tidak bisa diceritakan sebelum insiden itu terjadi. Selanjutnya pihak guru SMP Katolik Angelus Custos memerintahkan penjaga sekolah menyiapkan fasilitas untuk anak-anak yang akan latihan ujian praktik itu. Tempat yang disiapkan adalah laboratorium sekolah.
"Di tanggal 25 Maret pagi jam 08.00 WIB lab dibuka. Namun tidak digunakan sampai jam 17.00 WIB sore dikunci. Tanggal 26 Maret dibuka lagi dari jam 08.00 WIB pagi jam 17.00 WIB sore enggak dipakai, begitu pun tanggal 27 Maret," kata Tjandra.
Selanjutnya di tanggal 28 Maret 2025 bertepatan libur Nyepi, tiba-tiba korban dan rekannya datang ke sekolah. Karena libur dan tanggal merah, sekolah pun tutup.
"Anak-anak itu inisiatifnya sendiri dan korban adalah ketua tim dari uprak ini. (Mereka) datang ke sekolah SMP, harusnya bisa latihan di halaman SMP," terang Tjandra.
Namun Tjandra mengatakan ada salah satu rekan korban yang mengajak naik ke rooftop lantai 4 SMA Katolik Frateran. Mereka masuk lewat pintu belakang sekolah, karena saat itu gerbang utama ditutup. Seharusnya, kata dia, para siswa SMP tidak diperkenankan masuk kawasan SMA Katolik Frateran tanpa izin.
"Dari pintu asrama (belakang) naiklah ke rooftop lantai empat ini," katanya.
Saat itu ada satpam yang bertugas di kawasan SMA Katolik Frateran, namun satpam itu bertugas berkeliling area sekolah.
Tjandra melanjutkan, berdasarkan rekaman CCTV di rooftop, terlihat enam orang siswa SMP Katolik Angelus Custos Surabaya yang latihan ujian praktik di area gazebo. Korban tiba-tiba beranjak dari lokasi latihan dan hendak melewati pagar yang berada di dekat instalasi AC.
"Enggak tahu kenapa, korban mencoba melewati pagar ke tempat AC. Karena tidak bisa, akhirnya dia memilih lewat pagar samping. Di situ dia sudah terekam tidak menggunakan sepatu," beber Tjandra.
Saat itu kebetulan ada genangan air di area AC karena baru saja turun hujan. Lalu korban diduga menginjak kabel listrik yang terkelupas di sana. Sementara teman-teman korban awalnya tidak mengira bahwa korban tersengat listrik.
"Nah, waktu kesetrum tangannya dia pegang besi ini (di dekat lokasi AC). Temannya masih mengira (korban) bermain-main," tutur Tjandra.
Korban sempat berteriak, kemudian ditolong oleh temannya dan dibawa ke Rumah Sakit Adi Husada. Pihak sekolah tidak dapat memastikan apakah korban meninggal di sekolah atau di rumah sakit.
"Karena pada waktu itu rumah sakit sudah menawarkan untuk autopsi. Namun, keluarga korban menolak karena kepercayaan dan mereka menerima sebagai musibah," terang Tjandra.
Di lokasi itu, SSH diduga hendak meletakkan ponsel untuk merekam kegiatan tugas kelompoknya. Tanpa disadari, ia menginjak kabel AC yang terkelupas, hingga akhirnya tersengat listrik.
"Teman-temannya bersaksi putra saya sempat berteriak 'aku kesetrum' lalu mematung selama sekitar 40 detik sebelum akhirnya terjatuh dan kepalanya terbentur pagar," kata Tanu kepada wartawan, Kamis (8/5/2025).
Teman-temannya sempat melarikan SSH ke RS Adi Husada Undaan Wetan, namun nyawa pelajar itu tak tertolong.
"Saat memandikan jenazah, saya melihat luka di kakinya, bercak merah di punggung, dan bintik-bintik merah di lengannya. Diduga, urat syarafnya putus," ungkap Tanu.
Pihak keluarga pun mencoba mencari kejelasan ke sekolah, namun merasa tidak mendapat tanggapan memadai.
"Kalau memang ada empati datang ke rumah, jelaskan, maka kami sebagai orang tua akan jatuh hatinya," lanjutnya.
(dpe/hil)