Kerap Ditanya 'Kapan Nikah' saat Lebaran, Begini Cara Ampuh 'Ngeles' dari Pakar

Kerap Ditanya 'Kapan Nikah' saat Lebaran, Begini Cara Ampuh 'Ngeles' dari Pakar

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Selasa, 01 Apr 2025 09:00 WIB
Ilustrasi Lebaran
Ilustrasi Kumpul Keluarga Saat Lebaran, tips mengobrol bersama keluarga/Foto: Getty Images/Rani Nurlaela Desandi
Surabaya -

Momen kehangatan dan kebersamaan selalu dinanti saat Hari Raya Idul Fitri di Indonesia. Sebab, bukan sekadar menjadi momen religius, tapi juga kesempatan untuk mempererat hubungan dengan keluarga besar dan kerabat.

Umumnya tradisi silaturahmi tersebut menciptakan suasana hangat dan penuh kebersamaan. Namun, di balik keakraban tersebut, sering muncul pelbagai pertanyaan yang menuju ke personal seseorang. Bahkan, menyentuh aspek kehidupan individu, seperti hubungan romansa, pekerjaan, atau rencana masa depan sekalipun.

Dosen Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Atika Dian Ariana menilai fenomena itu berkaitan dengan budaya kolektivistik yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Menurutnya secara budaya, terdapat pandangan bahwa kepentingan individu adalah bagian dari kepentingan bersama.

"Sebenarnya, dalam konteks positif mereka ini peduli, memberikan perhatian satu sama lain. Mereka ingin mengetahui bahwa orang yang sedang berinteraksi dengannya dalam kondisi baik-baik saja, bahkan mungkin ada improvement dari Lebaran tahun lalu. Akan tetapi, dalam konteks negatif, hal ini dianggap kepo dan melanggar batas privasi, itu yang kemudian menjadi persoalan," kata Atika dalam keterangannya, Senin (31/3/2025).

Atika menjelaskan bahwa desakan beberapa pertanyaan tersebut dapat menyebabkan turunnya ekspektasi sosial ketika sedang berinteraksi. Ketika muncul sejumlah pertanyaan yang di luar ekspektasi, itu lah yang disebut bisa membuat seseorang merasa kecewa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apalagi ketika apa yang ditanyakan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang sudah membebani kita," imbuhnya.

Atika mengungkapkan bakal timbul rasa traumatis ketika individu mendapat pertanyaan yang sebelumnya sudah membebaninya. Sebab, lanjut Atika, bisa saja seseorang itu sedang berjuang dengan skripsinya atau karena satu dan lain hal memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan.

"Jadi, kondisinya dia sedang tidak mengikuti kegiatan akademik apapun dalam konteks yang tidak menyenangkan. Ketika itu ditanya akan membangkitkan rasa tidak nyaman dan sedih," paparnya.

ADVERTISEMENT

Atika menyebutkan ada cara tersendiri untuk menjadi tameng atas sejumlah pertanyaan itu. Ia menegaskan ada 2 cara untuk menyikapi emosi yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut, yakni dengan cara fight atau melawan rasa itu. Sementara opsi kedua adalah flight atau melarikan diri.

"Melarikan diri ini tidak bisa selalu kita lakukan, semisal dalam reuni keluarga, di mana semua keluarga hadir, maka mau tidak mau kita harus fight. Salah satu cara fight-nya, yaitu menyiapkan jawaban, tetapi tentu ini perlu dipertimbangkan apakah jawaban kita akan membuat lawan bicara tidak bertanya lebih lanjut atau justru bertanya semakin personal. Jadi yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri sedini mungkin sebelum kita mengikuti event sosial dan mengelola ekspektasi kita," imbuhnya.

Menurut Atika, seseorang bisa saja melakukan teknik grounding apabila efek dari pertanyaan itu masih menimbulkan rasa tidak nyaman. Teknik grounding ini berupaya mengalihkan perasaan cemas melalui aktivitas panca indra, seperti olah mengatur pernapasan, jalan-jalan, dan tidur.

Kendati begitu, Atika menyatakan setiap individu tak mempunyai kontrol akan hadirnya pertanyaan personal saat silaturahmi keluarga. Namun, memiliki kontrol dalam memberi jawaban.

"Tidak semua pertanyaan harus kita jawab, kita perlu melihat juga siapa yang bertanya. Kita bisa menjawab dengan senyum atau dengan kata 'oke', yang maksudnya menjawab dengan jawaban yang sifatnya permukaan juga untuk orang yang tidak terlalu kita kenal," tuturnya




(ihc/fat)


Hide Ads