Menjelang sepuluh malam terakhir Ramadan, masyarakat Bojonegoro memiliki tradisi unik bernama Colokan Songolikur. Tradisi ini dilakukan dengan menyalakan lampu minyak di depan rumah atau masjid sebagai simbol harapan dan ketulusan dalam menanti datangnya malam Lailatul Qadar.
Seluruh umat Islam tengah mempersiapkan diri dalam menyambut malam Lailatul Qadar. Malam yang lebih baik dari seribu lain ini juga disebut sebagai malam yang penuh kemuliaan karena setiap doa-doa yang dipanjatkan, serta segala amalan baik yang telah dilakukan, akan dikembalikan dengan pahala yang dilipatgandakan.
Dalam rangka menyambut malam Lailatul Qadar, tidak sedikit daerah di Indonesia yang memiliki cara atau tradisi yang unik untuk merayakannya. Misalnya, masyarakat di Jawa sendiri dapat ditemukan sejumlah tradisi, di antaranya Selikuran, Malam Selawe, Sanggring Gumeno, Bi'ibih, termasuk juga Colokan Songolikur di Bojonegoro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi Colokan Songolikur biasanya digelar masyarakat Bojonegoro untuk memperingati malam ke-29 Ramadan. Dalam tradisi Colokan, warga akan menyalakan obor atau bambu yang ujung sumbunya sudah dilapisi kain. Obor-obor tersebut dikenal sebagai 'colok'.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, obor kini digantikan dengan ublik atau sentir yang terbuat dari botol kaca. Ublik-ublik tersebut diisi dengan minyak tanah atau bahan bakar lainnya, kemudian dipasang sumbu untuk menyalakan api.
Ketika sudah siap, colok-colok tersebut diletakkan di sepanjang jalan atau area tertentu di dalam rumah seperti depan pintu, dekat sumur, hingga dapur. Diketahui, tradisi ini biasanya juga diwarnai dengan semarak agenda pertunjukan seni agar semakin meriah.
Tradisi Colokan bukan hanya sekadar budaya yang diwariskan dari leluhur secara turun menurun, tetapi menyimpan filosofi dan makna mendalam. Masyarakat setempat meyakini bahwa arwah para leluhur atau kerabat yang telah meninggal, datang menjenguk ke rumah setiap malam ke-29 untuk meminta doa keluarganya.
Sementara itu, penyalaan obor atau colok menyimbolkan jalan 'pulang' mereka ke Allah SWT yang senantiasa diberi penerangan. Melalui obor atau ublik yang menyala di malam ke-29 Ramadan, masyarakat Bojonegoro juga diajak untuk merenungkan tentang kehidupan dan kematian.
Tradisi ini menyiratkan kehidupan yang sementara, di mana segala yang hidup pasti akan kembali berpulang ke sisi-Nya. Agar kita selalu menjaga amal baik dan tidak meninggalkan ibadah, sehingga cahaya-Nya dapat menjadi petunjuk yang menyinari jalan pulang yang baik.
(ihc/irb)