Hampir semua muslim menjalani Ramadan dengan kegiatan positif, seperti ibadah dan berbagi. Namun, di sisi lain, fenomena perang sarung dan petasan kerap muncul saat bulan puasa. Pakar menyebut tradisi ini dipengaruhi beberapa faktor.
Pakar Sosiolog Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena perang sarung dan petasan yang dilakukan anak-anak saat Ramadan. Hal ini pun menimbulkan keresahan di masyarakat, termasuk di Kota Pahlawan.
"Fenomena merayakan Ramadan dengan gembira adalah fenomena yang baik, apalagi hal tersebut dilakukan di pagi hari setelah subuh. Tetapi, hal tersebut jadi masalah serius ketika mengarah pada perilaku destruktif dan mengganggu masyarakat, apalagi mengarah kriminalitas," kata dosen Cultural Studies ini kepada detikJatim, Minggu (16/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Radius mengatakan, dalam perspektif sosiologi, fenomena ini berkaitan erat dengan penyediaan ruang publik yang memadai anak muda sebagai arena mengekspresikan diri. Kawula muda, khususnya Gen-Z, memiliki energi sangat besar, bahkan cenderung mencari cara untuk menyalurkannya.
"Tanpa adanya ruang yang tepat untuk berkreasi atau beraktivitas, mereka mungkin terjerumus pada kegiatan yang berisiko dan merugikan, seperti perang sarung dan mercon," ujarnya.
Menurut Warek Bidang Riset Kerja Sama dan Digitalisasi UM Surabaya itu, penghakiman terhadap perilaku anak muda yang dianggap menyimpang bukanlah solusi efektif. Sebaliknya, negara perlu hadir untuk memberikan perhatian lebih terhadap penyediaan ruang publik lebih sehat, aman, dan produktif bagi generasi muda.
"Pemerintah daerah, bersama institusi pendidikan dan agama, harus berpikir kreatif dalam menciptakan ruang-ruang yang tidak hanya mengakomodasi kegiatan positif, tetapi juga mengedukasi dan memberikan nilai-nilai sosial yang bermanfaat," jelasnya.
Ia menyebut, pelaku perang sarung dan mercon umumnya berasal dari kalangan Gen-Z, yang terkenal dengan semangat serta energi tinggi. Oleh karena itu, penting untuk memikirkan bagaimana energi berlebih ini dapat diarahkan ke hal-hal berguna dan positif.
"Ruang-ruang yang dibangun secara partisipatif dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan bersemangat untuk berpartisipasi," katanya.
Fenomena ini pun menjadi PR pemerintah dan masyarakat, di mana perlu mendorong terciptanya ruang-ruang kreatif yang dapat membuat generasi muda merasa gembira dan antusias. Seperti fasilitas olahraga, seni, atau kegiatan sosial yang melibatkan komunitas.
Bila fasilitas itu diterapkan, maka anak-anak muda dapat menyalurkan energinya secara lebih konstruktif. Sehingga terhindar dari kebiasaan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya, perlu menciptakan ruang publik yang sehat bagi anak muda bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Melainkan tugas masyarakat secara keseluruhan.
"Kita semua memiliki peran dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung perkembangan generasi masa depan yang lebih baik," pungkasnya.
(irb/iwd)