Senator asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama menilai kebijakan pembatasan pembelian LPG 3 kg yang mulai berlaku per 1 Februari 2025 perlu mempertimbangkan berbagai potensi dampak.
Diketahui, Pemerintah melalui Kementerian ESDM menetapkan pembelian LPG 3 kg per 1 Februari 2025 sepenuhnya hanya dilayani di Pangkalan Resmi Pertamina dan tidak ada lagi di pengecer.
"Kita tetap mencoba menilai secara objektif apapun kebijakan pemerintah. Jika hal tersebut memiliki tujuan sangat positif, yaitu masyarakat mendapatkan harga lebih murah, maka tentu kita dukung dan apresiasi," kata Ning Lia, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima detikJatim, Selasa (4/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun, jika kemudian terjadi panic buying dan tercipta budaya antre yang kontra produktif, maka ini tentu menjadi pertimbangan penting. Jangan sampai masyarakat harus antre berkepanjangan sedangkan mereka harus mengisi waktu dengan produktif, efisien, dan efektif mengingat waktu sangatlah mahal," jelasnya.
Anggota DPD RI yang dikenal dengan tagline peran CANTIK itu juga menyoroti pentingnya pemerataan pangkalan resmi hingga pelosok daerah.
"Jika memang penjualan gas melon LPG 3 kilogram harus pada pangkalan resmi, maka mohon dengan sangat pada Pertamina untuk membuka peluang masyarakat mendapatkan akses sebagai distributor resmi," ujar Lia.
"Prinsipnya, bagaimana agar pangkalan resmi tersedia cukup di berbagai pelosok daerah. Ini sekaligus pintu ekosistem ekonomi produktif di tengah masyarakat, namun tentunya skema penyaluran sebagai agen resmi harus sesuai dengan kemampuan masyarakat. Jadi goal besarnya jelas, bahwa apapun kebijakan pemerintah, sifatnya dari dan untuk rakyat," imbuhnya.
Lia membeberkan sejumlah pertimbangannya.
"Yang pasti, jika tujuan penjualan resmi adalah penajaman fungsi pengawasan agar subsidi ini benar-benar diterima oleh masyarakat rumah tangga atau bisa juga pelaku usaha kecil yang memang butuh subsidi, maka oke. Tapi sekali lagi, kompleksitas di lapangan harus selalu jadi pertimbangan, terutama sisi ekonomi masyarakat yang mana saya kira masih banyak masyarakat yang hanya memiliki satu buah tabung gas sehingga mampunya membeli satu tabung hanya jika kehabisan," pungkasnya.
Sementara itu, kebijakan ini juga menuai sorotan dari berbagai pihak. Antrean panjang masyarakat yang membeli LPG 3 kg mulai terlihat di berbagai daerah, memunculkan kekhawatiran akan panic buying. Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, menilai kebijakan ini tidak menjamin pengurangan beban subsidi.
"Jika kebijakan tersebut dimaksudkan agar penyaluran LPG subsidi tepat sasaran, maka seharusnya dilakukan dengan membuat peraturan yang tegas atas siapa yang berhak atas LPG bersubsidi, bukan hanya mengalihkan pengecer menjadi pangkalan resmi LPG subsidi," ujarnya.
Sofyano menilai, penetapan pengguna yang berhak atas LPG 3 kg sebagaimana diatur dalam Perpres 104 Tahun 2007-yakni khusus untuk rumah tangga dan usaha mikro-masih terkesan 'abu-abu'. Akibatnya, di lapangan baik pangkalan maupun pengecer memahami bahwa semua golongan rumah tangga berhak membeli LPG bersubsidi.
Atensi publik saat ini tersedot pada ketersediaan gas melon atau gas elpiji 3 kg yang sebelumnya mudah ditemukan di berbagai pedagang pengecer di permukiman.
Sebelumnya, per 1 Februari 2025, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menerapkan pembatasan pembelian LPG 3 kg. Kini, gas subsidi tersebut hanya bisa dibeli di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina.
Bahlil menjelaskan, salah satu tujuan kebijakan ini adalah agar masyarakat membeli LPG 3 kg langsung di pangkalan resmi guna mendapatkan harga jual sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan masing-masing pemerintah daerah.
(irb/hil)