Pemagaran sepanjang 30,16 kilometer di kawasan laut Tangerang menjadi sorotan publik. Klaim bahwa pagar bambu berfungsi mencegah abrasi dan tsunami memicu berbagai pertanyaan. Terutama soal motivasi apa di balik proyek itu?
Ahli Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Lautan Dr David Hermawan mengungkap fakta-fakta mengkhawatirkan terkait kasus ini. Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu menyebut pagar sepanjang 30,16 kilometer yang menelan biaya Rp 4 miliar-Rp 5 miliar itu jelas tidak berasal dari gotong royong masyarakat biasa.
Ada pihak besar yang membiayai proyek ini. Menurut David, alasan pencegahan abrasi menggunakan pagar bambu tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Metode yang lazim digunakan adalah breakwater atau bronjong batu, bukan pagar bambu," ungkap David kepada wartawan, Sabtu (25/1/2025).
David melanjutkan temuan di lapangan mengungkap indikasi yang lebih besar. Berdasarkan data terdapat 263 bidang tanah yang telah bersertifikat di kawasan itu. Mayoritas dimiliki perusahaan-perusahaan besar menguasai 20 bidang, bahkan hingga 234 bidang. Sisanya dimiliki perseorangan.
Fakta ini, menurutnya, menunjukkan bahwa proyek pemagaran ini bukan sekadar untuk konservasi lingkungan, melainkan bagian dari rencana reklamasi besar untuk pembangunan kota baru seluas 30.000 hektare.
"Nilai ekonominya untuk penguasaan lahan bisa mencapai Rp30 triliun. Namun, kalau nantinya setelah reklamasi, nilai proyek ini diperkirakan mencapai Rp300 kuadriliun," bebernya.
"Dengan asumsi luas reklamasi 30 ribu hektar atau 30 juta meter persegi, dan nilai tanah minimal Rp10 juta per meter persegi, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp300 triliun," sambungnya.
Di sisi lain, dampak pagar laut terhadap lingkungan laut dinilai sangat besar. Pola arus laut akan berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan juga akan rusak.
"Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga keberlanjutan ekologi yang harus dipikirkan," tegasnya.
David juga mengungkapkan sejumlah potensi pelanggaran prosedur. Reklamasi laut seharusnya memiliki izin resmi dari KKP, analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas dan penyesuaian tata ruang dan zonasi. Proyek ini disinyalir juga berjalan tanpa izin resmi.
"Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus berlandaskan prinsip keberlanjutan, melindungi ekosistem, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan," katanya.
"Proyek ini melanggar prinsip-prinsip tersebut. Kawasan ruang laut tidak boleh disertifikatkan, baik berupa SHGU maupun SHM," tandasnya.
Ia juga menyoroti keterlibatan sejumlah pengembang besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK 2), yang diduga memonopoli lahan laut.
Hal ini tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat kecil yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.
"Pemerintah harus bergerak cepat menegakkan aturan dan memastikan semua prosedur di jalankan dengan benar. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, saya berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini," pungkasnya.
(dpe/iwd)