Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dibahas DPR RI. Rancangan ini banyak disorot karena sejumlah pasal dapat memicu konflik antara kepolisian dan kejaksaan.
Kaprodi Magister kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Prawitra Thalib memberikan penilainnya.
Pria yang juga pakar hukum itu lalu mengungkapkan kewenangan penyidikan harus sepenuhnya dilakukan kepolisian. Menurutnya, hal itu sudah tepat, strategis serta sesuai dengan prinsip tata kelola penegakan hukum yang baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kepolisian sebagai institusi yang secara konstitusional ditugaskan untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum, merupakan lembaga yang paling tepat untuk menjalankan fungsi penyidikan secara terpusat," kata, Kamis. (23/1/2025).
Prawitra menilai pembagian wewenang penyidikan kepada banyak institusi berpotensi tumpang tindih kewenangan dan konflik antar-institusi. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional, sebab setiap institusi sudah kewenangan masing masing.
"Persoalan ini bukan lah kewenangan yang lahir dari norma, namun lebih di ranah implementasinya, terlebih lagi pada poin koordinasi dalam proses penyidikan tersebut, dengan menetapkan kepolisian sebagai satu-satunya penyidik, proses penyidikan sepantasnya dapat dilakukan dengan lebih efisien, terarah, dan terkoordinasi tanpa hambatan birokrasi yang berlebihan, jelasnya.
Menurut Prawitra, Polri memiliki sumber daya manusia, teknologi, dan sistem pelatihan yang dirancang untuk mendukung fungsi penyidikan. Karena memang telah didesain untuk menjalankan hal tersebut.
kepolisian juga dapat memastikan bahwa proses pengumpulan bukti, penanganan saksi, dan rekonstruksi perkara dilakukan sesuai standar hukum yang berlaku.
"Menyerahkan wewenang penyidikan kepada polisi dan wewenang penuntutan kepada institusi lain seperti Kejaksaan maka secara tidak langsung akan menciptakan pembagian peran yang lebih jelas dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, kejaksaan dapat sepenuhnya fokus pada tugasnya sebagai penuntut umum, tanpa dibebani oleh tugas-tugas penyidikan," terangnya.
Prawitra berharap tidak ada suatu institusi dalam penegakan hukum menjadi lebih (super) dari institusi lain karena kewenangan lebih yang diberikan. Keterlibatan institusi di luar Kepolisian dalam upaya penyidikan, dapat menimbulkan sejumlah resiko dan permasalahan.
"Ketika kejaksaan memiliki kewenangan untuk menyidik, batasan peran antara penyidik (polisi) dan penuntut umum (kejaksaan) menjadi kabur. Tumpang tindih ini dapat memperlambat proses penanganan perkara, memicu konflik antar lembaga, dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan," ungkapnya
Prawitra menegaskan dari masing-masing institusi tersebut tidak perlu menambah atau mengubah kewenangan dasar. Menurut nya wewenang penyidikan harus tetap berada pada instansi Kepolisian saja begitupun Kejaksaan dengan fungsi penuntutan.
"Apabila ada ketidakpuasan dari publik terhadap dua Lembaga tersebut ketika menjalankan fungsinya masing-masing, maka harusnya mekanisme supervisi mesti dilakukan dengan ketat dengan mekanisme reward and punishment bukan menambah atau mengubah kewenangan dasar dari masing-masing institusi tersebut," tandasnya.
(abq/iwd)