Sidoarjo -
Masih ingat kasus bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002 silam? Ya, peristiwa itu menelan korban tewas 202 orang. Sementara itu salah satu penyintas Bom Bali I Chusnul Chotimah (54) melanjutkan hidup sebagai ibu 3 anak yang tinggal di rumah kontrakan di Sidoarjo merasakan itu.
Dia mengaku bertahan hidup sebagai penyintas tindak pidana terorisme tidak mudah. Chusnul mengalami luka bakar 60% hampir di sekujur tubuhnya. Ditambah sejumlah serpihan logam yang masih melekat di tubuhnya hingga syarafnya terganggu.
Selain menyisakan sakit yang tak akan pernah hilang, Bom Bali I juga mengubah kondisi perekonomian Chusnul dan keluarganya hingga begitu memprihatinkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kembali ke Sidoarjo, suaminya yang putus asa tergiur menjadi kurir narkoba demi membiayai sekolah anak-anaknya. Ujungnya pahit, satu insiden membuat suaminya ditembak mati pada tahun 2017.
Meski terpuruk, Chusnul tetap melanjutkan hidup. Kini dialah yang menjadi kepala rumah tangga. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dia berdagang sayur sambil bekerja serabutan.
"Jangan ditanya (Keadaan pascatragedi bom). Kondisi hancur-hancuran. Sekarang jualan sayur, sembako. Setiap hari jam 2 malam cari dagangan. Subuh dibuka," ujar Chusnul dijumpai detikJatim di rumah kontrakannya di Sidoarjo, Rabu (8/1/2025).
Jika dihitung, rata-rata penghasilannya dari berdagang maupun bekerja serabutan hanya Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per hari atau sekitar Rp 4 juta per bulan. Itu pun kalau ramai pembeli.
"(Kerja serabutan) bersih-bersih saya mau, ada pesanan katering juga mau, saya ambil semua pekerjaan selagi bisa," kata Chusnul.
Cobaan hidupnya bertambah pada 23 November 2022 saat anak bungsunya, MF (18) didiagnosis penyakit kronis Von Willebrand yang membuat darahnya sulit membeku bila mengalami pendarahan. Penyakit ini divonis tak bisa sembuh.
Chusnul menyebut anaknya memang sakit-sakitan sejak lama, salah satunya kerap mimisan. Ia telah membawanya berobat ke berbagai tempat hingga menelan biaya jutaan rupiah.
Demi membiayai pengobatan anaknya sejumlah barang miliknya seperti 3 unit motor habis dijual demi membiayai satu-satunya harapan pengobatan untuk anaknya, yakni kemoterapi.
Sekali kemoterapi biayanya cukup fantastis, Chusnul menyebut itu mencapai kurang lebih Rp 14 juta. Jadwalnya, 13 Januari 2025 besok anaknya akan menjalani kemoterapi ketiga.
"Jika pendarahan, anak saya butuh 2 botol obat injeksi infus. Harga asli obat injeksi anak saya Rp 14.400.000 per 2 botol," tuturnya.
Chusnul Chotimah, penyintas Bom Bali I yang berupaya menagih utang demi pengobatan anaknya. Foto: Aprilia Devi/detikJatim) |
Chusnul pun pontang-panting mencari bantuan dari berbagai pihak. Mulai dari pengajuan khusus ke BPJS karena obat yang diperlukan anaknya tidak masuk subsidi pemerintah. Dia juga mencari bantuan dari sejumlah yayasan termasuk dari BNPT.
Dengan penghasilan yang pas-pasan, Chusnul kebingungan harus mencari uang dari mana lagi. Sebab ia tak ingin terus bergantung pada bantuan pihak lain maupun donasi.
Sebab itu dia berupaya menagih utang. Rekannya sesama penyintas bom berinisial VN (54) meminjam uang kompensasi dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) yang dia terima beberapa tahun silam. Nominal uang yang dipinjam mencapai Rp 77,5 juta.
Chusnul menjelaskan bahwa mulanya VN meminjam uang Rp 50 juta. Dia terpaksa mencairkan deposito pendidikan anaknya yang berasal dari uang kompensasi LPSK.
"Pinjaman itu sebenarnya uang yang saya dapat dari kompensasi di tahun 2020. Awal Januari 2021 dia pinjam uang saya bilang nggak ada, di bulan Februari akhirnya saya kasih pinjam nominal pertama Rp 50 juta," katanya.
Dia pinjamkan uang itu karena tidak tega dengan VN yang memohon sambil menangis dan mengaku sedang sakit. Chusnul merasa iba karena pernah mengalami kondisi sulit sebelum dapat bantuan dari LPSK maupun BNPT.
Saat itu, VN yang juga merupakan penyintas Bom Marriott I berjanji akan mengembalikan uang yang dipinjamnya dari hasil penjualan rumah miliknya.
"Dia janji 1 bulan tapi sampai saat ini ndak ada yang dibayarkan. Pada 16 Februari 2021 beliau telpon saya, katanya pembeli rumahnya tidak jadi, tapi saya tidak perlu khawatir katanya. Lalu dia minta lagi Rp 5 juta saya pinjamkan lagi," jelas Chusnul.
Chusnul mulanya tidak curiga sedikit pun pada VN hingga mau meminjamkan uangnya beberapa kali. Ditambah mereka juga pernah berada di satu organisasi penyintas bom yang sama, yakni Yayasan Keluarga Penyintas (YKP). Bahkan VN adalah petinggi di YKP.
"Sampai Oktober 2021 terkumpul utangnya sudah Rp 77,5 juta dan saya pertanyakan 'mba ini gimana uangnya?'. Saya bilang 'mbak tolong kembalikan ya' dia jawab 'ya, ya, sabar bu'," ungkapnya.
Kini dengan kondisi anaknya yang perlu menjalani pengobatan dengan biaya fantastis, Chusnul berharap uangnya segera kembali.
"Anak saya didiagnosa penyakit dan harus membutuhkan biaya untuk kemo, saya akhirnya kencang meminta uang saya dikembalikan. Nggak tahunya dia selalu janji-janji gitu aja," tutur Chusnul.
Chusnul sempat merasa putus asa karena VN sampai memblokir nomor teleponnya demi menghindari ditagih utang.
"Sampai anak saya masuk rumah sakit yang pertama, dia janji transfer tapi setelah itu anak saya masuk, dia blokir semuanya (Tidak bayar utangnya)," katanya.
Dengan mata berkaca-kaca Chusnul mengaku hampir putus asa karena dia sudah mencoba berbagai cara, salah satunya membuat perjanjian tertulis dengan VN. Semua dia lakukan semata-mata demi pengobatan anaknya, tetapi VN tetap enggan membayar utang.
"Sampai terakhir kemarin saya merasa hampir putus asa. Itu sudah 7 kali dia bohongi saya. Akhirnya saya putuskan untuk menagih langsung ke Purwakarta," ujar Chusnul.
Simak Video "Video: Eks Napiter Umar Patek Buka Bisnis Kopi, Penyintas Bom Bali Protes"
[Gambas:Video 20detik]