Kapolres Malang AKBP Putu Kholis Aryana menggelar bedah buku bertajuk 'Move in Silence: Untold Story of Kanjuruhan Disaster' di Universitas Brawijaya (UB). Buku ini merupakan refleksi mendalam atas tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 silam.
Bedah buku dihadiri juga Rektor Universitas Brawijaya Prof Widodo, akademisi, mahasiswa, perwakilan media, serta masyarakat di Auditorium Nuswantara, Universitas Brawijaya, Kota Malang.
Dalam diskusi ini, berbagai aspek tragedi Kanjuruhan dibahas, termasuk proses hukum, santunan bagi korban, rekonsiliasi suporter Arema, hingga kritik terhadap penanganan tragedi oleh Polri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putu Kholis menjelaskan buku yang ditulisnya sendiri ini bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan pengingat penting bagi institusi kepolisian untuk terus belajar dari sejarah kelam tersebut. Putu Kholis menegaskan, pendekatan hukum saja tidak cukup untuk menangani dampak tragedi.
![]() |
Menurut Kholis, dalam buku tersebut juga mengupas pendekatan sosial, budaya, dan kemanusiaan yang telah dan akan terus dilakukan oleh Polres Malang.
"Ini merupakan sebuah pelajaran penting yang tidak boleh dilupakan oleh Polres Malang agar kedepan tidak boleh terulang Kembali," kata Putu Kholis usai bedah buku.
Putu Kholis menambahkan interaksi langsung dengan keluarga korban menjadi bagian penting dalam proses penyembuhan luka sosial yang ditinggalkan tragedi ini.
Pihaknya juga lebih banyak mendengar dan merespons kebutuhan berbeda dari setiap keluarga korban. Meskipun terkadang di luar tanggung jawab formal di bidang kepolisian.
Buku setebal 300 halaman itu menjadi simbol dedikasi Kapolres dalam mengungkap kisah yang tidak terungkap sebelumnya.
Bagaimana kepolisian menangani tragedi besar dan dampaknya terhadap masyarakat.
"Ini sebagai bentuk tanggung jawab Kami sebagai pihak yang paling saya rasa perlu dimintai tanggung jawab paling besar dalam tragedi kanjuruhan," tegasnya.
Selama diskusi, beberapa pertanyaan kritis diajukan oleh peserta, termasuk tentang transparansi proses hukum, efektivitas santunan bagi korban, serta langkah-langkah rekonsiliasi antara suporter.
Putu Kholis mengungkapkan, bahwa pihaknya berkomitmen menyelesaikan permasalahan ini secara transparan dan humanis.
Dalam penjabarannya, Putu Kholis menyebutkan ada tiga hal utama yang terus dilakukan guna membangun kepercayaan publik pasca tragedi.
Di antaranya Transformative Justice yaitu pendekatan yang berorientasi pada penanganan hukum untuk meredam konflik, Peace Making Criminology atau lebih banyak mendengar dan memulihkan hubungan dengan menyesuaikan kearifan lokal.
"Serta Community Policing yakni interaksi antara polisi dan masyarakat untuk mendeteksi dan menyelesaikan masalah Kamtibmas," ungkapnya.
Putu Kholis menambahkan, bahwa buku tersebut tidak hanya membahas aspek hukum dan peradilan.
Tetapi juga mencatat interaksi dengan keluarga korban serta upaya Polres Malang dalam merespons harapan mereka
"Bukan hal yang mudah, dan tidak mungkin dilupakan. Kita harus mengambil pelajaran dari tragedi Kanjuruhan, itu nilai-nilai pentingnya," imbuhnya.
Sebagai bagian dari komitmen transparansi, Putu Kholis menyatakan bahwa buku ini akan dibagikan kepada media dan pejabat utama Polri terlebih dahulu, sebelum akhirnya diberikan secara gratis kepada masyarakat.
Melalui buku ini, Kapolres Malang berharap bisa memberikan perspektif baru tentang cara kepolisian menghadapi tantangan besar dalam menjaga keamanan dan menjaga situasi Kamtibmas pasca-tragedi.
Dengan pendekatan yang humanis dan komprehensif, diharapkan buku ini bisa menjadi pengingat dan pelajaran berharga, bukan hanya bagi Polres Malang.
Tetapi juga untuk seluruh institusi kepolisian di Indonesia, agar tragedi serupa tidak terulang kembali di masa depan.
"Saya rasa ini hal-hal yang setiap hari dikerjakan oleh Polisi, Insyaallah kalau kita lakukan lebih sistematis tentu kita punya arah yang benar untuk Bagaimana bisa memulihkan situasi yang rumit seperti kanjuruhan," pungkasnya.
(dpe/iwd)