Kasus tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, seorang mahasiswa Universitas Jember (Unej) sempat menghebohkan kampus hingga warganet. Saat ini, IM telah diskors dua semester atau satu tahun atas aksinya.
Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember Dr. Linda Dwi Eriyanti menegaskan, kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.
"Tindakannya salah, dan apa pun motifnya tidak boleh ditoleransi dan sudah pasti salah," ujarnya kepada detikJatim, Kamis (21/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menekankan, mencari motif di balik tindakan pelaku sering kali menjadi upaya membenarkan perilaku yang harusnya tidak dapat diterima. Oleh karena itu, menurutnya, dalam kasus kekerasan seksual, penting untuk melihat dari sudut pandang korban, bukan perspektif pelaku.
"Jadi kalau ada fenomena kekerasan seksual mesti lihat sudut pandang korban, dan apa pun motifnya hanya akan menjadikan korban sebagai kambing hitam," ungkap Linda.
"Ketika kita memberikan pemahaman untuk tidak melakukan kekerasan, kita harus menekankan bahwa perilaku ini salah. Kita tidak boleh mengalihkan perhatian kepada perempuan seolah-olah mereka adalah sumber masalah," tambahnya.
Menurut Linda, sikap yang menyalahkan korban, dapat membatasi perempuan dan mengalihkan tanggung jawab dari pelaku kepada korban. Ia juga menegaskan bahwa Satuan Tugas (Satgas) memiliki peran penting dalam mengklarifikasi setiap kasus yang muncul dan memberikan sanksi sesuai bukti yang ditemukan.
"Ketika sudah ada proses dari Satgas, itu berarti banyak hal telah dipertimbangkan sebelum sanksi dijatuhkan oleh rektor," jelasnya.
Linda juga menyoroti pentingnya keberadaan Permendikbud sebagai landasan hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Ia menekankan, perempuan harus dilindungi dari kekerasan, dan lingkungan yang aman harus diciptakan bagi mereka.
"Satgas memiliki kewenangan untuk menentukan sanksi, baik itu lebih ringan atau lebih berat, tergantung pada hasil investigasi. Dan perempuan harus dilindungi dari kekerasan, dan kita perlu memberikan pemahaman bahwa mereka tidak perlu berusaha untuk menghindari menjadi korban," katanya.
Linda pun mengkhawatirkan bahwa jika pemahaman ini tidak disampaikan dengan jelas, perempuan akan merasa tertekan untuk mengubah perilaku mereka agar tidak menjadi sasaran kekerasan. Ia berharap masyarakat lebih memahami bahwa tanggung jawab untuk mencegah kekerasan seksual terletak pada pelaku, bukan pada korban.
"Pelaku atau calon pelaku lah yang perlu diajarkan untuk tidak melakukan kekerasan," tegasnya.
Sebelumnya, kasus ini bermula dari viralnya akun X @Irenedelyn yang mengunggah kiriman foto terduga pelaku seorang mahasiswa berinisial IM dengan keterangan agar berhati-hati apabila bertemu dengannya.
"Be careful of this monster (hati-hati dengan monster ini). Aku tau nama dia udah jelek banget apalagi di Jember. But I warn you (tapi aku mengingatkan kalian), orang ini kriminal, dia sakit jiwa," tulis akun @Irenedelyn dalam postingannya yang dilihat detikJatim, Senin (9/9/2024).
"Dia bikin ratusan akun palsu yang ngaku-ngaku jadi orang lain cuma buat dapet nudes (foto bugil) kamu. I will give all the proofs once this blow up (aku akan berikan semua buktinya setelah ini viral)," lanjutnya.
Viralnya postingan itu berlanjut ke instagram (IG). Sebuah akun IG mengunggah kompilasi kiriman cewek-cewek atau remaja putri yang mengaku telah menjadi korban seorang mahasiswa.
Kiriman itu terdiri dari 10 slide. Slide 1 dan 10 menampilkan informasi mengenai terduga pelaku sedangkan slide 2 sampai 9 menampilkan isi percakapan cewek-cewek yang mengaku telah menjadi korban.
Unej langsung melakukan pemeriksaan kepada korban hingga pelaku. Akhirnya, pihak kampus menjatuhkan sanksi skorsing selama 2 semester atau 1 tahun pada pelaku.
(irb/hil)