Pendidikan Masuk dalam Kategori Kritis, Ini Kata Pengamat

Pendidikan Masuk dalam Kategori Kritis, Ini Kata Pengamat

Firtian Ramadhani - detikJatim
Selasa, 22 Okt 2024 04:30 WIB
Ilustrasi lulus kuliah wisuda pendidikan beasiswa
Ilustrasi pendidikan (Foto: Getty Images/iStockphoto/Liliboas)
Surabaya -

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dr Gamal Albinsaid menyorot beragam masalah pendidikan di Indonesia, mulai dari sistem pendidikan yang masuk dalam kategori kritis sehingga harus dilakukan evaluasi.

Merespons hal ini, Pengamat Pendidikan Isa Anshori mengatakan, sistem pendidikan di Indonesia memang perlu dilakukan evaluasi. Namun, evaluasi bukan hanya berdasar pada perbaikan kurikulum, tetapi juga sistem pendidikan.

"Sebelumnya kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kemudian pada era Jokowi, Pak Nadiem itu diganti dengan Kurikulum Merdeka. Persoalannya bukan pada kurikulumnya, tetapi pada kualitas guru kita," ujar Isa Anshori ketika dikonfirmasi detikJatim, Senin (21/10/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal kualitas guru, Isa menyebut tidak sepenuhnya memenuhi harapan untuk menjawab tantangan masa depan. Apalagi, ada target Indonesia Emas 2045, namun guru-guru tidak sepenuhnya memahami proses belajar untuk mencapai Indonesia Emas.

"Oleh sebab itu, pendidikan akan terlihat berjalan sendiri, dan negara juga akan berjalan sendiri. Ini kemudian menjadi tugas, eksekutif dan legislatif. Bagaimana kemudian merumuskan antara visi besar bangsa, yang tercantum dalam UUD tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, konteks mencerdaskan itu maksudnya kan kualitas sumber daya," terangnya.

ADVERTISEMENT

"Inilah yang sebetulnya masih perlu dilakukan semacam sinergitas antara visi besar itu, kemudian implementasi permasalahannya ada apa. Kalau bicara evaluasi saya setuju antara visi dan evaluasi besarnya," sambungnya.

Di Indonesia, ada tradisi bahwa ganti menteri akan berganti kurikulum. Isa menilai, pergantian menteri pergantian kurikulum adalah bagian dari evaluasi. Sejauh ini, dirinya lebih sepakat apa yang dilakukan menteri tidak mengubah total apa yang sudah dilakukan sebagai fondasi awal.

"Tetapi lebih menyempurnakan pada hal-hal yang saya kira dirasa kurang, misalkan keluhan kemarin dengan kurikulum merdeka bahwa situasi anak-anak tidak semakin baik. Kurikulum merdeka itu kan mengubah paradigma dari belajar yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada anak, sehingga lebih memanusiakan," jelasnya.

Sebagai peserta didik, mereka bebas mengembangkan potensi diri masing-masing. Jika dulu siswa akan diukur dari kepandaian, tetapi sekarang tidak cukup hanya pintar atau pandai dalam pelajaran tertentu. Siswa harus bisa berperilaku sebagaimana dengan kurikulum tersebut.

"Semua kompetensi, semua upaya yang dilakukan siswa lebih saya lihat humanisme atau memanusiakan peserta didik. Lalu problemnya, terjadi jarak antara tujuan pendidikan dengan perilaku yang terjadi karena ada variabel lain," terangnya.

Variabel ini, katanya, tentang Undang-undang Perlindungan Anak. Masyarakat berlindung pada undang-undang seolah-olah bahwa apa yang dilakukan oleh guru kepada siswa terkait pendisiplinan dianggap sebagai kekerasan.

"Itu yang harus diubah, paradigma itu. Di dalam pendidikan ada pasti pendisiplinan, ada ketegasan dan itu bukan kekerasan. Sehingga, guru lebih didorong agar memahami bagaimana memanusiakan manusia tanpa harus menghilangkan kualitas pendidikan tersebut," pungkasnya.




(hil/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads