Kebijakan pemerintah soal ekspor pasir laut menuai pro kontra masyarakat. Diketahui, Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut, padahal sudah 20 tahun dilarang.
Keputusan ini ditandatangani Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melalui revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
Revisi itu mencakup Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 yang mengubah aturan tentang barang yang dilarang diekspor serta kebijakan ekspor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru Besar Bidang Pemodelan Hidrodinamika dan Morfodinamika Pantai Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof Suntoyo menanggapi kebijakan itu.
Prof Suntoyo menjelaskan, berkaitan dengan sedimen laut yang rencananya akan diekspor, termasuk di antaranya adalah sedimen laut dari Kota Pahlawan.
"Sedimen laut ini bisa berasal dari berbagai material seperti erosi batuan pantai hingga terumbu karang yang mengendap. Jenis sedimen laut bisa berupa kerikil, pasir, batuan, lumpur, maupun tanah liat sesuai ukuran butiran," kata Suntoyo saat dihubungi detikJatim, Jumat (20/9/2024).
Suntoyo menyebut, dari sedimentasi itu ada beberapa yang memiliki nilai jual dan berpotensi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
"Pasir laut yang akan dijual bisa memenuhi kriteria tertentu, seperti kandungan material yang berharga. Antara lain ada kalsium karbonat, emas, perak, maupun silik. Namun, juga tidak boleh melebihi batas tertentu," katanya.
Ia juga menyampaikan kritik soal pentingnya kajian lingkungan yang komprehensif sebelum mengeruk sedimen pasir laut untuk diekspor. Perlu kehati-hatian agar kegiatan ini tidak menjadi bentuk eksploitasi alam.
"Itu harus dikaji bagaimana dampaknya, dari sonografinya, biotanya, hingga dampak ke masyarakatnya. Yang jadi masalah adalah ketika kebijakan ini tidak dikawal dengan baik ada peluang orang akan melakukan kecurangan," tuturnya.
Apabila muncul perilaku curang dari salah satu pihak yang oportunis terhadap keuntungan pribadi, kebijakan ini justru bisa mengancam keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Maka pemerintah harus memperhatikan ini dengan serius.
"Ketika ada area tertentu yang akan diambil, dampaknya habis dikeruk perlu dikaji. 'Apakah akan memicu erosi di pantai?' karena jumlah sedimennya akan terkurangi. Sedimen ini juga biasanya mereduksi abrasi gelombang, kalau dieksploitasi akan menyebabkan abrasi bagi masyarakat pesisir," tuturnya.
Bahkan, hal ini juga berdampak pada aspek ekologi lain seperti merenggut tempat tinggal biota laut yang penuh nutrisi. Sehingga, biota laut harus berpindah ke tempat lainnya.
Dari sekian dampak itu, Suntoyo menegaskan bahwa pihak-pihak terkait harus mempertajam kajian serta melakukan pengawasan serius dalam implementasi kebijakan ini.
"Sekali lagi, jika hal ini tidak dilengkapi dengan kajian komprehensif dan kesungguhan dari pelaku dan pemerintah yang ada di situ ya risikonya tinggi," tandasnya.
Diketahui, berdasarkan kerja sama antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada tujuh lokasi yang akan terdampak pengerukan sedimentasi.
Di antaranya Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, juga Kabupaten Karawang.
Selain itu, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
(dpe/iwd)