Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden, dalam beberapa kesempatan Jokowi selalu meminta maaf. Selain kepada TNI dan Polri, Jokowi juga meminta maaf kepada warga bila selama dirinya menjabat masih ada kebijakan yang tidak berkenan di masyarakat.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari menanggapi permintaan maaf Jokowi itu. Dia menyebutkan bahwa permintaan maaf Jokowi sifatnya sangat normatif menjelang purnatugas dirinya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024.
"Konsekuensi dari minta maaf itu apa? Apalagi selama ini banyak rumor terkait beliau. Jadi kalau saya mengatakan sebenarnya lebih tepat sebagai pamitan aja. Pamit jelang akhir masa jabatan, beliau tidak lagi menjabat," ujar Wawan Sobari ketika dikonfirmasi detikJatim, Sabtu (14/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wawan, tidak ada arti khusus soal permintaan maaf Jokowi. Karena tidak ada konsekuensi seperti mengklarifikasi rumor, keterlibatan di dalam Pemilu Presiden, dan lain sebagainya. Jokowi, kata Wawan, lebih meminta maaf secara profesional bukan meminta maaf secara politik.
"Kalau meminta maaf secara profesional, saya sebagai presiden barangkali ada salah kata, itu saja dan tidak ada pernyataan lainnya. Memang bilang di akhir 'jaga kondisi, jaga keamanan, jangan membuat kebijakan yang membuat rugi banyak orang'," jelasnya.
Lantas, Wawan pun membandingkannya dengan Presiden Korea yang dituntut mundur karena mencarikan pekerjaan untuk menantunya. Dia pun mempertanyakan mengapa di Indonesia tradisi meminta maaf bukan seperti tradisi mundur di Jepang, misalnya, mengakui kesalahan lalu mundur.
"Minta maaf jelang akhir masa jabatan, apanya yang baru? Itu hal biasa, memang di Indonesia belum ada tradisi seperti di negara maju. Jepang, Korea, Inggris, Amerika, misalnya, mundur karena ada skandal. Bahkan ada Menteri di Inggris itu yang telat rapat 30 menit menyatakan mundur. Itu baru konkrit," ujarnya.
Lebih lanjut, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya itu menyoroti bahwa bila hanya meminta maaf, tidak ada bedanya dengan seseorang yang melakukan kesalahan dan meminta maaf di media sosial. Padahal, katanya, publik telah menganggap Jokowi membuat keributan, kegaduhan, bahkan huru-hara.
"Dia (presiden) hanya mengatakan, saya meminta maaf selama saya memimpin. Tetapi tidak mengatakan bahwa selama memimpin saya menyebabkan kegaduhan, menimbulkan kerugian. Tidak ada. Seharusnya, dia meminta maaf yang terkait dengan misalnya kegaduhan politik seperti apa, kegaduhan yang selalu dikaitkan dengan 'saya' (Jokowi), itu baru berbeda," pungkasnya.
(dpe/fat)